About Us

Foto saya
Tangerang, Banten, Indonesia

Rabu, 03 Mei 2023

Stasiun Rangkasbitung dari Masa ke Masa

 


Stasiun Rangkasbitung Tahun 2022
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Sebagai salah satu saksi bisu sejarah Banten, keindahan dan keberadaan Stasiun Rangkasbitung tak lekang oleh waktu. Bangunan yang berdiri sejak tahun 1900 ini dibangun oleh perusahaan kereta api Staasspoorwegen (SS) dengan jalur Tanah Abang-Anyer Kidul dengan melewati Rangkasbitung. Kenapa melewati Rangkasbitung? Alasan utamanya adalah hasil kebun dan tambang. Rangkasbitung yang masuk dalam wilayah Banten Selatan memiliki nilai komoditas yang tinggi, khususnya lada. Selain itu pada masa penjajahan Jepang, Rangkasbitung bagian selatan Banten (Bayah) mulai dibuka pertambangan bijih besi dan batu bara yang dibutuhkan oleh Tentara Jepang saat itu untuk memenuhi kebutuhan perang mereka dalam Perang Pasifik. Keberadaan jalur kereta ini mempercepat pengiriman barang dan komoditas yang sebelummnya dikirim menggunakan kendaraan roda empat atau gerobak. Namun, bukan hanya ini alasan berdirinya Stasiun Rangkasbitung.

Alasan lainnya adalah karena maningkatnya aksi dan pertikaian di wilayah ini yang pada masanya masih menjadi bagian dari Kesultanan Banten. Sulitnya akses menuju wilayah Rangkasbitung ini mengakibatkan proses penyelesaian konflik memakan waktu yang lama dan menghambat pertumbuhan kota. Terlihat pada aksi ketika Presiden Soekarno yang datang ke Rangkasbitung menggunakan kereta untuk menyuarakan kemerdekaan dan mendorong rakyat pribumi untuk mencapai kebebasannya pada tahun 1944 di pertambangan Bayah. Lalu pada tahun 1951 untuk yang ketiga kalinya beliau ber-silahturahmi ke Banten setelah NKRI berdiri dan Soekarno telah menjadi Presiden Indonesia.

Ruang Tunggu KA Lokal St. Rangkasbitung (2022)
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Stasiun Rangkasbitung masuk dalam kategori Station (Stasiun Besar) sebelum dikeluarkannya Surat DDKA No. 20493/BB/54 pada tanggal 16 Maret 1954 yang mengubah kategori stasiun ini menjadi Stasiun Kelas 1. Stasiun ini berfungsi sebagai stasiun angkut penumpang, angkutan barang, dan transit dengan fasilitas bangunan utama yang berisi kantor, ruang penyiar, ruang tunggu, dan loket, lalu terdapat jalur rel kereta api dengan overcapping, depo lokomotif, dan juga mess karyawan serta watertoren. Seiring berjalannya waktu, tentu bangunan-bangunan dalam kompleks stasiun mengalami perubahan, mulai dari penambagan bangunan/ruangan baru atau perbaikan bangunan lama hingga perubahan fungsi. Sebagai contoh, terdapat watertoren (menara air) dan watercolumn (jalur air) yang memenuhi kebutuhan air di stasiun termasuk sebagai bahan bakar lokomotif uap yang beroperasi saat itu, kini telah tidak digunakan sebagaimana lokomotif uap tak digunakan lagi dan digantikan dengan lokomotif dengan bahan bakar batu bara dan juga lokomotif/kereta listrik. Tercatat pada tahun 1964 watertoren masih digunakan sebagaimana fungsi awalnya untuk mengisi bahan bakar uap lokomotif yang disalurkan oleh watercolumn dari watertoren ke lokomotif yang jalurnya pernah ada di overcapping stasiun, namun saat ini sudah tak terlihat lagi jejaknya.


Watertoren (Menara Air) dan Mess Karyawan St. Rangkasbitung (2022)
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Saat ini Stasiun Rangkasbitung memiliki kurang lebih 11 jalur lokomotif yang beberapa jalurnya digunakan sebagai tempat berisitirahat kereta yang sedang tak beroperasi. Bangunan lama stasiun ini sekarang berdampingan dengan bangunan baru yang mana bangunan baru ini digunakan sebagai loket masuk khusus penumpang KRL Rangkasbitung-Tanah Abang, sedangkan fasad/bangunan lama stasiun masih digunakan sebagai loket tiket untuk penumpang kereta lokal Rangkasbitung-Serang.

Sampai saat ini, Stasiun Rangkasbitung masih bertahan di tengah ramainya kehidupan kota yang padat ini. Watertoren yang menjulang tinggi seakan menandakan kehadirannya yang tak lekang oleh waktu masih akan menemani kita semua. Mari kita lestasikan segala bentuk nilai budaya dan sejarah baik berbentuk ataupun tak berbentuk yang menegaskan semangat bangs akita dalam berkembang ke arah yang lebih baik !!

 

-Aziza Hendarini-

 

Referensi:

Hendarini, Aziza. Peran Stasiun Rangkabsitung Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Muara Ciujung Timur dan Rangkasbitung Barat pada Tahun 1900-1958. Skripsi Sarjana Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2022.

Museum Multatuli. 05 September 2022. “Bung Karno ‘Nyoba’ Banten. Bagian I, Tahun 1951”. https://museummultatuli.id/kajian/bung-karno-nyaba-banten-bagian-i-tahun-1951/ dilihat pada 02 Mei 2023.

Selasa, 24 Maret 2020

Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini

Stasiun Kalasan yang terletak di Kringinan, Tirtomartani, Kalasan, Sleman Yogyakarta memiliki sejarah perkembangan yang tidak bisa lepas dari sejarah perkembangan perkerataapian di Yogyakarta. Berawal setelah tahun 1870, dimana banyak muncul pabrik-pabrik gula maupun perkebunan milik Belanda yang ada di Yogyakarta. Untuk mengangkut hasil perkebunan dan produksi pabrik ini, pemerintah Hindia Belanda bersama NISM (Nederlands Indische Spoorweg Maatschapij) untuk membangun jalur rel kerta api utama yang menguhubungkan Yogyakarta ke Cilacap dan Batavia, lalu jalur Yogyakarta  ke Semarang, dan jalur Yogyakarta ke Surabaya serta Semarang. Tidak ketinggalan pula, sub jalur kereta api dari Stasiun Kalasan – Tugu – Kedandang (masuk pada jalur utama). Adapun pembangunan  jalur kerta api ini bersamaan dengan pembangunan stasiun-stasiun kecil yang dimulai dari tahun 1864 (Pratikto, 2018: 2-5). Dengan kata lain, pembangunan jalur kereta api sudah dimulai lebih awal dan ketika pabrik-pabrik gula mulai banyak bermuncul maka pembangunan jalur kereta api ini semakin masif.
Yogyakarta menjadi salah satu daerah yang memiliki tanah yang subur sehingga sangat cocok untuk mengembangkan perkebunan, terutama perkebunan tebu. Di dekat Stasiun Kalasan sendiri terdapat Pabrik Gula Tanjungtirto dimana pabrik ini menggunakan Stasiun Kalasan sebagai tempat untuk mengangkut hasil produksinya ke kota-kota pelabuhan yang kemudian akan diekspor. 

Peta Stasiun Kalasan pada tahun 1924. Sumber: Leidenmaps.
Bangunan Stasiun Kalasan memiliki bentuk bangunan awal stasiun yang tergolong sederhana. Pada kurun waktu 1867-1900 perusahaan pengelolaan transportasi di jalur Semarang-Vorstenlanden dikelola oleh NISM. Stasiun-stasiun yang dibangun pada tahun pertama sejak 1867 memiliki bentuk sederhana seperti rumah pendopo dengan overstek. Selain itu, pembangunan struktur, konstruksi, serta desain banyak dipengaruhi oleh kondisi iklim setempat. Stasiun Kalasan berada di jalur kereta api komersil yang bertujuan untuk mengangkut hasil perkebunan dari pada mengangkut manusia, sehingga bangunannya tidak dibangun dengan megah ataupun fasilitas ruang tunggu yang lengkap (de Jong, 1933: 40 dalam Sulistyanti, 2010: 64).
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Fasad Stasiun Kalasan yang didominasi dengan cat putih dan menghadap ke arah utara. Sumber: dokumentasi pribadi.
Stasiun Kalasan sendiri berbatasan dengan pemukiman disebelah utara, gudang barang disebelah timur, rel kereta api disebelah selatan, dan gardu listrik disebelah barat. Lokasinya yang dekat dengan Jalan Jogja-Solo membuat Stasiun ini dapat dengan mudah dijangkau serta dekat dengan permukiman penduduk. Stasiun yang memiliki luas sekitar 345,36 m2 ini memiliki beberapa fasilitas yaitu ruang tunggu, kantor kepala stasiun, kantor navigasi, gudang, dan toilet. Alterasi yang dilakukan pada stasiun ini hanya pada penambahan ruang dan pergantian lantai stasiun yang awalnya tegel kotak-kotak menjadi keramik. Stasiun Kalasan yang memiliki koordinat 7o46’27” S 110o27’54” E (UTM Geomap) ini merupakan stasiun yang berada di Timur Yogyakarta yang menghubungkan antara Stasiun Maguwo Lama dan Stasiun Brambanan.
Peta Stasiun Kalasan pada tahun 2019. Garis kuning menunjukkan bangunan Stasiun Kalasan. Garis merah hanya sebagai penanda lokasi Stasiun Kalasan. Sumber: Google Earth.
Sejak tahun 2008 Stasiun Kalasan sudah tidak dioperasikan lagi. Hal ini dikarenakan pihak PT. KAI sebagai pengelola telah membuka jalur ganda yang menghubungkan antara Yogyakarta dan Kutoarjo dan efiesiensi waktu mengingat jarak Stasiun Maguwo – Stasiun  Kalasan – Stasiun Brambanan tergolong dekat. Selain itu, di tahun yang sama, stasiun ini mengalami kebakaran pada ruangan kepala stasiunnya yang menyebabkan beberapa bagian dari stasiun ini terbakar dan meninggalkan bekas kehitaman di bagian dinding serta plafon-nya.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Ruangan Kepala Stasiun yang mengalami kebakaran. Dan seperti itulah kondisinya. Sumber: dokumentasi pribadi.
Perlu diketahui bahwa Stasiun Kalasan dulunya mempunyai enam jalur kereta api dengan formasi dua jalur lurus, tiga jalur berhenti dan satu jalur gudang dengan ditandai adanya spoor badug yang berada tepat di sebelah PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api). Namun sekarang hanya terdapat dua rel yang saja yang masih digunakan dan rel lainya  terlihat sudah tidak utuh.
Gambar sketsa Stasiun Kalasan dengan enam jalur, sumber: kaskus.com.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Salah satu dari bekas tiga jalur rel Stasiun Kalasan yang kini hanya tinggal sisa dan tertutupi aspal. Sumber: dokumentasi pribadi.

Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Salah satu dari bekas tiga jalur rel Stasiun Kalasan yang kini hanya tinggal sisa. Dimana tampak melewati sebuah selokan. Sumber: dokumentasi pribadi.

Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Salah satu bekas tiga jalur rel Stasiun Kalasan yang kini hanya tinggal sisa. Dimana tampak melewati sebuah selokan. Sumber: dokumentasi pribadi.

Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Salah satu bekas tiga jalur rel Stasiun Kalasan yang kini hanya tinggal sisa. Dimana sebagian sudah tertutup aspal dan sebagian masih tampak melewati sebuah selokan. Sumber: dokumentasi pribadi.
Stasiun Kalasan yang tidak dioperasikan lagi membuatnya terbengkalai dan tidak terawat. Kondisi terkini dari bangunan Stasiun Kalasan sebagai berikut:
  • Dinding
Bagian dinding dari stasiun secara keseluruhan di cat dengan menggunakan warna putih dan telah mengelupas. Pada beberapa bagian dinding sudah hancur dengan lapisan semen yang terkelupas dan juga yang sudah rubuh.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Tampilan kondisi dinding Stasiun Kalasan secara keseluruhan. Foto ini diambil dari sisi selatan Stasiun Kalasan. Sumber: dokumentasi pribadi.
  •  Lantai
Saat ini seluruh bagian lantai masih terbilang bagus. Kerusakan pada bagian lantai hanya terdapat pada ruangan kepala stasiun yang tanahnya ambrol. Selain itu di ruangan yang letaknya di sebelah barat ruangan kepala stasiun sudah rusak dengan beberapa keramik yang terkelupas. Namun lantai pada Stasiun Kalasan sudah tidak asli. Stasiun yang dibangun oleh NISM pada masa kolonial memiliki lantai yang terbuat dari tegel yang berbentuk kotak-kotak. Kini lantai tersebut telah dilapisi dengaan dengan lantai keramik putih yang moderen.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB

Lantai pada ruangan Kantor Kepala Stasiun yang sudah pecah, rusak, dan kotor. Terdapat dua jenis lantai yang menandakan adanya pembaharuan yang pernah dilakukan di Stasiun Kalasan. Sumber: dokumentasi pribadi.
  • Atap
Seluruh komponen atap pada bangunan stasiun kalasan ini masih utuh. Genteng genteng yang digunakan masih tertata dengan rapi, hanya saja sudah ditumbuhi dengan lumut dan beberapa rumput liar.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB

Atap Stasiun Kalasan sebelah utara terlihat masih utuh dan masih terpasang dengan baik. Sumber: dokumentasi pribadi.
  • Plafon
Bagian plafon bangunan ini beberapa sudah mengalami kerusakan ada yang parah, ada yang bolong dan juga menguning karena rembesan air hujan. Hal ini tak lain karena penggunaan bahan plafon yang terbuat dari triplek, usia bangunan, dan faktor iklim.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB

Salah satu sudut dari bangunan Stasiun Kalasan. Terlihat plafon yang sebagian sudah bolong dan beberapa lapuk serta warnanya mulai berubah. Sumber: dokumentasi pribadi.
  • Pintu
Secara keseluruhan pintu – pintu  yang terdapat di bangunan ini masih terpasang dengan baik pada tempatnya. Hanya saja ada beberapa kerusakan seperti cat yang mengelupas, panil kaca pintu yang hancur, dan banyak vandalisme. 
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB

Pintu ruangan petugas Stasiun Kalasan. Kondisinya sangat memprihatinkan dimana kaca-kaca pada pintu pecah dan banyak vandalisme. Sumber: dokumentasi pribadi
  • Jendela
Seluruh komponen jendela masih dalam kondisi bagus dan terpasang dengan baik pada tempatnya, bahan kayunya pun masih dalam kondisi bagus dan belum ada kerusakan. Hanya saja untuk beberapa jendela mengalami kerusakan dengan beberapa kacanya yang pecah bahkan bagian ini juga tak luput dari aksi vandalisme. 
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB

Jendela disisi barat Stasiun Kalasan. Jendela ini menjadi salah satu yang rusak dimana kayunya sudah patah dan kacanya penuh dengan vandalisme. Sumber: dokumentasi pribadi.
  • Tiang
Komponen tiang yang menopang bangunan stasiun ini masih berdiri dengan tegak dan belum ada kerusakan ataupun kelapukan bahan kayunya, hanya bagian cat nya yang saat ini sudah mengelupas. 
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Umpak serta tiang pada bangunan Stasiun Kalasan yang terdapat di sisi selatan. Kondisinya terbilang masih cukup terawat. Sumber: dokumentasi pribadi

Selain kondisi pada bangunan Stasiun yang tidak terawat, kondisi lingkungan stasiun pun tidak jauh berbeda. Dimana banyak sampah dan daun-daun kering yang tidak dibersihkan. Terdapat pula semak-semak belukar yang tumbuh secara liar. Adanya kayu-kayu hasil penebangan yang dibiarkan begitu saja membuat pemandangan disekitar stasiun ini benar-benar terlihat tidak terawat.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Lingkungan sekitar Stasiun Kalasan di sisi sebelah Timur. Terlihat banyaknya sampah. Sumber: dokumentasi pribadi

Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Lingkungan sekitar Stasiun Kalasan di sisi sebelah Timur. Terlihat kondisi yang sangat tidak terwat. Sumber: dokumentasi pribadi
Dalam 11 tahun sejak penonaktifan operasional saja, Stasiun Kalasan sudah mengalami kerusakan yang tidak bisa dikatakan ringan, maka 50 tahun kedepan tidak ada yang menjamin bahwa Stasiun Kalasan ini akan tetap berdiri atau bahkan mungkin hilang tidak bersisa seperti yang terjadi pada Stasiun Berbah. Maka dari itu, diperlukan upaya perawatan dan pelestarian serta pencegahan kerusakan bangunan untuk tetap menjaga eksistensi dari Stasiun Kalasan ini.

-Jeana Sicari-

Daftar Pustaka
Pratikno, Djoko. 2018. Penelusuran Bentuk Arsitektur Bangunan Stasiun Kereta Api Jaman Kolonial di Yogyakarta. Surakarta: Universitas Tunas Pembangunan. Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur Vol. 22 No. 26. Hlm 1-13.
Sulistyani, Harmilyanti. 2010. Karakteristik Tata Ruang dalam Bangunan Stasiun Kereta Api di Jalur Semarang-Vorstenlanden periode 1854-1930. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Skripsi

Minggu, 22 Maret 2020

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB
Tampak Depan Gapura Bajangratu, sumber: dokumentasi pribadi

Selayang Pandang
Secara administratif, gapura Bajangratu Berada di Dusun Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto yang berada pada ketinggian 41, 49 Mdpl. Situs ini disandingkan dengan sisa – sisa kebesaran peradaban Majapahit yang runtuh 542 tahun silam. Apabila berkunjung ke bekas ibukota Majapahit di Trowulan, Gapura Bajangratu menjadi salah satu objek yang harus dikunjungi. Sama halnya dengan Gapura Wringin Lawang, Gapura Bajangratu diduga pada zaman dahulu berfungsi sebagai gapura masuk ke Keraton Majapahit. Salah satu contoh gapura paduraksa (gapura dengan atap yang menyatu) yang cukup fenomenal adalah Gapura Bajangratu ini. Ukurannya sendiri mencapai 11,00 x 8,50 m dengan denah segi empat dan tinggi pintu sekitar 1,4 meter serta tinggi total gapura sekitar 16, 5 meter. Pintu Gapura Bajangratu yang berukuran cenderung lebih kecil. Pintu yang kecil dan sempit itu membuat tidak semua orang bisa berlalu – lalang keluar masuk dengan bebas sehingga dengan alasan itu Gapura Bajangratu dianggap sebagai pintu masuk ke bangunan yang dianggap sakral berbeda dengan Wringinlawang yang bangunannya bertipe Candi Bentar yang umumnya digunakan untuk pintu masuk bangunan profan. (Sugiyanti et al,1992: 63).
Secara keseluruhan, bangunan Gapura Bajangratu dibagi menjadi tiga bagian yaitu: atap, tubuh, dan kaki dengan material penyusun utama adalah batu bata. Pada kaki sudut kiri depan dihias dengan relief sebanyak empat panil yang kondisinya yang sudah aus sehingga susah untuk dikenali. Namun dari berbagai pernyataan seperti yang dinyatakan oleh ahli dari Belanda yang bernama Bernet Kempers (1996: 299, dalam Sugiyanti et al, 1992: 63-66), relief tersebut menceritakan kisah Sri Tanjung. Pada bagian badan terdapat pintu yang ambangnya terbuat dari batu andesit, dibagian kanan dan kirinya juga terdapat relief yang diduga merupakan cerita Ramayana. Relief ini oleh Sri Suyatmi Satari (1980) disamakan dengan relief Ramayana yang ada di Candi Jago. Dengan itu dapat disimpulkan bahwa Gapura Bajangratu dibangun sekitar abad XIII sampai XIV Masehi. Selain perbandingan relief, perbandingan arsitektur juga dilakukan, yaitu dengan Candi Angka Tahun di Penataran dengan perkiraan angka tahun yaitu sekitar abad XIII. Bagian atap Gapura Bajangratu memiliki tinggi 8,38 meter. Dengan susunan bata berlapis keatas yang semakin keatas semakin mengerucut, setiap lapisan dihiasi ornamen yang setiap dua lapis diselingi deretan menara yang pejal dan saling menyambung. Hiasan kala tampak menghiasi keempat sisinya dengan ciri khas kala bertaring gaya Jawa Timur-an (Sugiyanti et al, 1992: 63 – 66). Berdasarkan adanya relief Sri Tanjung yang ada di Gapura Bajangratu, tulisan ini bertujuan untuk menelisik makna yang terkandung didalamnya dan mencari jawaban mengapa relief Sri Tanjung yang dipilih untuk dipahatkan di Gapura Bajangratu dari sekian banyak opsi cerita yang ada dan berkembang pada masa itu.

Sebuah Pendharmaan Raja Jayanegara
Atas tafsir terhadap Pararaton yang berbunyi “Sira ta dinarmeng kapopongan, bhiseka ring crnggapura pratista ring anantawulan”, maka Gapura Bajangratu sering dikaitkan sebagai sebuah bangunan pendharmaan bagi Raja Jayanegara yang wafat pada tahun 1328 Masehi dengan Wisnu sebagai Dewa Perwujudannya. Dari uraian yang terdapat di kitab Pararaton tersebut dapat disimpulkan bahwa Raja Jaya Negara didharmakan di Crnggapura. Sementara pratista-nya (bangunan sucinya) berada di anantawulan (Trowulan sekarang) (Sugiyanti et al, 1992: 61). Menurut ceita rakyat yang beredar, penamaan Bajangratu juga berkonotasi dengan Raja Jayanegara. Asumsi ini berasal dari definisi Bajangratu secara istilah berasal dari dua kata yaitu bajang dan ratu, bajang dapat diartikan sebagai anak kecil dan ratu berarti penguasa atau raja. Jadi Bajang Ratu dapat diartikan sebagai Raja Kecil. Hal ini sesuai dengan keadaan Jayanegara yang diangkat menjadi Raja Majapahit ketika usianya masih belia (Kepaksian, 2019: 36).

Relief Cerita Sri Tanjung
Sri Tanjung merupakan kisah populer yang trend pada masa Jawa Timur. Cerita Sri Tanjung sering dikaitkan sebagai cerita untuk ruwatan (ritual membersihkan jiwa raga dari kotoran). Isinya mengajarkan ajaran moral yang intinya adalah adanya sebuah sebab akibat dari suatu perbuatan. Sri Tanjung dan Sidhapaksa merupakan sepasang suami istri. Sidhapaksa mengabdi kepada seorang raja yang bernama Sulakrama. Sulakrama sendiri sebenarnya mencintai Sri Tanjung. Untuk memenuhi hasratnya itu, Sulakrama menghalalkan segala cara bagaimana menyingkirkan Sidhapaksa dan merebut Sri Tanjung. Suatu hari Sulakrama mengutus Sidhapaksa untuk berangkat ke kahyangan. Ketika Sidhapaksa pergi mengemban tugas, kesempatan itu digunakan Sulakrama untuk merayu Sri Tanjung. Namun Sri Tanjung tidak menanggapi. Ketika Sidhapaksa pulang, dibuatlah sebuah fitnah bahwa Sri Tanjung berani berselingkuh dibelakangnya. Sidhapaksa yang termakan tipu muslihat akhirnya menikam Sri Tanjung hingga meninggal. Disini keadilan datang, Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh Dewi Durga sehingga Sidhapaksa menyadari bahwa dirinya sudah ditipu oleh Sulakrama. Cerita ini berakhir dengan pembunuhan Sulakrama oleh Sidhapaksa. (Pratiwi, 2016: 51 – 63). Sedangkan cerita Sri Tanjung yang ada pada Gapura Bajang Ratu dipahatkan dalam empat panil. Pada relief yang ada di Gapura Bajangratu ini dibaca dari kiri ke kanan. dua relief pertama kondisinya sudah aus pada panil pertama tampak dua orang laki – laki dan perempuan (?) yang dikelilingi oleh sulur – suluran, mungkin adegan ini menceritakan adegan Sri Tanjung dan Sidhapaksa yang sedang bertengkar akibat fitnah yang dihembuskan oleh Sulakrama. Sidhapaksa yang terbakar emosinya akhirnnya membunuh Sri Tanjung. Panil berikutnya tampak ada seekor hewan mirip ikan yang menyemburkan air, ikan ini menjadi kendaraan Sri Tanjung menuju alam setelah kematian. Pada relief ketiga dan keempat kondisinya sangat rusak parah hampir tidak bisa dikenali. Namun setelah pengamatan secara seksama, relief ketika yang menggambarkan seseorang yang sedang naik diatas ikan, ini menggambarkan Sri Tanjung yang menuju alam baka. Dan panil keempat menggambarkan wanita yang berdiri dan mengikat tangan kirinya, ini menggambarkan Sri Tanjung yang sedang menggugat terhadap sang pencipta agar diberi kesempatan hidup lagi untuk membuktikan kepada suaminya bahwa dirinya tidak main serong.
Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB
Relief panil pertama, menceritakan adegan Sidhapaksa yang sedang meluap emosinya akibat termakan hasutan Suklarama dan akhirnya membunuh istrinya (Sri Tanjung) sebagai wujud kekecewaan karena merasa dikhianati oleh Sri Tanjung. Sumber: dokumentasi pribadi

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB
Panil kedua, tampak seekor ikan yang menyemburkan air, ini menjadi kendaraan Sri Tanjung menuju alam baka setelah mati dibunuh suaminya sendiri. Sumber: dokumentasi pribadi

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB
Panil ketiga, Sri Tanjung menaiki seekor ikan untuk menuju alam baka dan bertemu dengan Dewa. Sumber: dokumentasi pribadi

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB

Panil terakhir, tampak Sri Tanjung mengikat tangan kirinya sebagai wujud guatan kepada Dewa atas ketidak adilan yang menimpa dirinya, dia mohon untuk dihidupkan kembali supaya dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dan dirinya hanya difitnah oleh Suklarama. Sumber: dokumentasi pribadi

Korelasi Relief Sri Tanjung dengan Kematian Jayanegara.
Karya (relief, lukisan, dll) merupakan sebuah media untuk menyampaikan suatu ide atau gagasan dimana tokoh dan tingkah lakunya yang digambarkan dalam suatu karya. Karya tersebut merupakan sebuah manifestasi dari kehidupan nyata (Muslim, 2013). Suatu karya seni merupakan cermin dari alam dan realitas di sekitar kehidupan manusia sehari – hari  yang digambarkan dalam suatu karya. Pembuat karya sastra memandang realitas dari kenyataan berdasarkan sudut pandangnya sendiri bahkan kadang-kadang disertai dengan inovasi, atau digambarkan secara alamiah tanpa melewati proses inovasi dan ada juga yang digambarkan melalui simbol-simbol tertentu yang harus ditelaah dengan seksama untuk memahami maknanya. (Pooke dan Newall,2008: 9). Tidaklah mungkin suatu karya diciptakan tanpa memiliki tujuan. Karya seni seperti relief yang dipahatkan pada suatu bangunan suci tentunya memiliki tujuan tertentu seperti menyampaikan pesan moral, pesan keagamaan dan lain – lain sehingga seni merupakan suatu alegori dimana dalam suatu karya terdapat unsur ekstriksik yang terkandung didalamnya untuk menyampaikan maksud dan tujuan tertentu yang dituangkan melalui karya tersebut. Dengan kata lain, karya tersebut merupakan perumpamaan dari sebuah gagasan. (Lelono, 2016: 102). Sama halnya dengan kisah kematian Jaya Negara yang diabadikan oleh Mpu Prapanca dalam karangannya Negarakertagama yang diagung – agungkan itu. Menurut Negara Kertagama yang ditafsirkan oleh Slamet Muljana, Jayanegara wafat ditangan tabibnya yang bernama Tanca. Tanca membunuh Jayanegara atas aduan dari istrinya yang mengaku digoda oleh Jayanegara. Kebetulan saat itu Raja Jayanegara menderita penyakit bisul dan Tanca sebagai seorang tabib yang dipercaya diminta untuk mengobatinya sehingga kesempatan ini digunakan sebaik – baiknya oleh Tanca untuk membalaskan rasa sakit hatinya dengan membunuh Jayanegara (Muljana,1979). Apabila penuturan Tanca atas hasil penafsiran Muljana itu benar, kiranya cukup tepat untuk mengatakan bahwa kisah kematian Jayanegara yang diceritakan dalam Negarakertagama itu kisahnya diabadikan dalam bentuk sebuah alegori cerita Sri Tanjung yang terpahat pada bangunan yang dipercaya sebagai monumen untuk memperingati kematiannya. Terlepas dari penafsiran umum tentang Cerita Sri Tanjung sebagai kisah untuk ruwatan sebagai lanjutan dari kisah cerita Sudamala. Tulisan ini memberikan alternatif pemikiran baru yaitu kisah Sri Tanjung sebagai alegori untuk menceritakan kisah akhir hidup Sang Jayanegara. Cerita tersebut cocok dengan apa yang digambarkan di Negarakertagama yang ditafsirkan oleh Muljana tentang kematian Jayanegara. Jayanegara sebagai seorang raja diibaratkan seperti Suklarama, sedangkan Tanca sebagai abdi raja digambarkan seperti Sidhapaksa, sementara Sri Tanjung merupakan manifestasi dari istri Tanca yang digoda oleh  Suklarama sehingga Tanca merasa sakit hati kemudian membunuh Jayanegara. Kemudian kisah tersebut dikiaskan pada relief cerita pada bangunan yang digunakan untuk menghormati kematian Jayanegara. Jika memang Gapura Bajangratu adalah bangunan peringatan untuk menghormati wafatnya Jayanegara.

Simpulan
Terlepas dari keabsahan sumber tertulis seperti Negarakertagama yang dilontarkan oleh sebagian orang kadang kala tidak serta merta harus disimpukan secara mentah. Kadang kala sumber tertulis dapat menjadi konfirmasi dari sumber benda yang kadang hanya dapat berbicara sepenggal dan sebaliknya. Pemilihan kisah Sri Tanjung sebagai relief penghias Gapura Bajangratu kiranya memiliki seribu alasan mengapa cerita tersebut dipilih. Mungkin alasan untuk memperingati kematian Jayanegara menjadi salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan ini. Penulis menunggu kritikan dan masukan dari pembaca dan sangat mengapresiasi penelitian yang lebih lanjut supaya dapat memberikan jawaban yang lebih memuaskan.
-Tri Margono-

Daftar Pustaka
Kepaksian IGAGA Widiana et al., 2019. Ornaments on Candi Bajang Ratu in the Trowulan Culture Conservation Site. Dalam International Journal of Art and Art History Vol.7, No. 02, Edisi Desember 2019, Hlmn: 34 – 38.
Lelono, T.M Hari., 2016. Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral - Diktatif Pada Masa Jawa Kuno. Dalam Jurnal Berkala Arkeologi Vol. 36, No.1 Edisi Mei 2016 Hlmn. 99 – 116.
Muljana, Slamet., 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
Muslim, Damai Tegar., 2013. Peran dan Jenis Binatang Pada Cerita Binatang relief Jataka di Candi Borobudur. Diunduh dari Repository.ugm.ac.id pada tanggal 8 Desember 2019.
Pooke, Grant dan Diana Newall., 2008. Art History: The Basic. New York: Routledge.
Pratiwi, Prihani., 2016. Makna Visual Relief  Cerita Sri Tanjung Candi Penataran. Skripsi Sarjana Program Studi Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain. Institut Seni Indonseia Surakata.
Sugiyanti, Dwi et al., 1992. Pemugaran Candi Kidal dan Gapura Bajangratu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Stasiun Rangkasbitung dari Masa ke Masa

  Stasiun Rangkasbitung Tahun 2022 Sumber: Dokumentasi Pribadi Sebagai salah satu saksi bisu sejarah Banten, keindahan dan keberadaan Stas...

Cek ini juga yuk!