Hotel Toegoe Yogyakarta, sumber: dokumentasi pribadi |
Dengan
maraknya perkembangan transportasi, manusia dapat berpergian dari satu tempat
ke tempat lain dengan lebih mudah, baik untuk tujuan berdagang, sekedar
berwisata atau untuk tujuan lainnya. Tumbuhnya moda transportasi yang meningkat
ini membuat pertumbuhan hotel dan penginapan di Indonesia menjadi sebuah
kebutuhan. Hal ini dikarenakan makin banyak orang yang datang ke suatu tempat
hanya untuk kunjungan singkat dan membutuhkan tempat tinggal satu sampai dua
malam tanpa punya sanak saudara di daerah itu. Hal inilah kemudian yang memicu
pertumbuhan penginapan dan hotel.
Yogyakarta
sebagai salah satu pusat pemerintahan besar di Indonesia menjadi salah satu
saksi perkembangan itu. Pada abad ke-20, dibangun Stasiun besar Yogayakarta
(sekarang dikenal sebagai Stasiun Tugu Yogayakarta) yang menghubungkan
daerah-daerah di Yogyakarta. Dengan dibangunnya stasiun besar ini, dibangun
juga hotel bernama NV Grand Hotel de
Jogja yang letaknya ada di sebrang pintu
masuk stasiun tersebut. Hotel yang terletak dekat dengan stasiun ini sudah
berkali-kali berganti nama hingga saat ini dikenal sebagai ‘Hotel Toegoe’.
Selain menjadi hotel, banyak kejadian sejarah terjadi di Hotel Toegoe ini.
Beberapa kejadian besar yang tercatat sejarah seperti; pada tahun 1942 hotel
ini markas tentara Jepang; di tahun 194
hotel ini beralih fungsi menjadi markas pertahanan Belanda pada masa Agresi
Militer II; dan pada masa lain, hotel ini dijadikan tempat pertemuan Komisi
Tiga Negara untuk membahas persiapan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dihadiri
oleh Australia, Belgia, dan Amerika Serikat. Selain menjadi lokasi penting
dalam roda perjuangan bangsa, bangunan hotel ini juga pernah dimanfaatkan
sebagai bank, Kedaung Plaza, dan gedung belajar Universitas Mercua Buana secara
bergantian. Sebuah faktor yang menyebabkan adanya perubahan baik desain
interior atau arsitektur bangunan yang berubah, menghilangkan beberapa unsur
penting yang menampakan gaya bangunan klasik dari Hotel Toege.
Sebagai
saksi bisu sejarah bangsa, hotel ini kemudian diangkat sebagai cagar budaya
pada tahun 2007 berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Republik Indonesia Nomor PM.25/PW.007/MKP/2007 dengan luas 2.395 m2.
Hotel yang dibangun oleh Alm. Probosutedjo ini setelahnya diwariskan kepada
ahli warisnya. Setelahnya, ternyata pada tahun 2004 silam terjadi perubahan
besar pada bagian timur bangunan induk dan selatan sehingga penetapan luas
sebagai situs cagar budaya diubah menjadi 1.527,63 m2. Hal ini dikarenakan oleh bagian bangunan yang
rusak dan tidak bisa dikenali lagi. Sebuah ironi yang menyedihkan karena
sebagai bukti sejarah, bangunan Hotel Toege tidak diberikan perawatan yang
layak. Hotel ini justru dibiarkan tanpa perawat sampai akhirnya harus keropos
dimakan usia dan tangan-tangan yang
tidak bertanggungjawab. Padahal, lokasi hotel ini strategis dan menjual untuk
dapat dimanfaatkan sebagai hotel atau museum, seperti hotel tua lainnya di
Yogyakarta.
Runtuhan Atap yang ada di Ruang Tengah Bangunan, sumber: dokumentasi pribadi |
Kondisi
Hotel Toegoe Yogyakarta saat ini cukup mengenaskan dilihat dari atap bangunan
induk yang roboh lebih dari setengahnya dan memiliki kemungkinan kerusakan
lanjutan. Hotel yang terdiri atas tiga bangunan ini persisnya berada di Jalan
Pangeran Mangkubumi, bersebrangan dengan Stasiun Tugu Yogyakarta di utara Jalan
Malioboro. Berada di lingkugan padat pengunjung, hotel yang sekarang terlantar
ini terlihat semakin menyedihkan. Terlebih lagi dengan keadaan halaman sekitar
bangunan hotel yang rimbun ditumbuhi semak belukar tinggi dan lebih mirip hutan
belantara kecil ditengah pesatnya moderinisasi gedung lain di daerah itu.
Namun, meskipun saat ini Hotel Toege lebih terlihat seperti bangunan angker
tanpa nilai sejarah, hotel ini tetap merupakan sebuah historical landmark yang menjadi lokasi akan banyak kejadian dan
keputusan penting sejarah Indonesia di Kota Yogyakarta. Oleh sebab itu, penting
untuk dilakukan sebuah dokumentasi untuk mengenang sejarah yang hidup di Hotel
Toege sebelum cagar budaya terbengkalai ini hilang dari peradaban karena
keegoisan dan rasa acuh terhadap sejarah.
Denah awal Hotel Toegoe Yogyakarta, sumber: Universitas Islam Indonesia.pdf |
Hotel
Toege terdiri dari tiga bangunan tersusun berjajar dari utara ke selatan dengan
bangunan induk berada di tengah, diapit oleh bangunan utara dan selatannya.
Orientasi arah hadap Hotel Toegoe sendiri adalah barat dan di bagian timur
terdapat daerah kampung. Bangunan di utara ini setelah tidak difungsikan
sebagai hotel, digunakan sebagai gedung kegiatan belajar-mengajar untuk
Universitas Mercu Buana. Mengikuti kebutuhan universitas, banyak perubahan
harus dilakukan. Perubahan paling besar terdapat pada dinding selatan yang
diubah menjadi kaca. Selain dinding selatan, dilakukan juga penambahan
sekat-sekat dan pembanguana toilet kecil di belakang bangunan. Bagian yang
tersisa dari masa klasik awal hotel ini berdiri adalah fasad (bagian depan)
bangunan, terutama bagian atas (atap), yang memilik bentuk berundak dengan
hiasan persegi panjang yang disusun meninggi. Kemudian, pintu yang berada di
dinding selatan juga masih dibiarkan mengikuti gaya awal bangunan ini. Selain
bagian tersebut, bangunan yang didominasi warna putih dan biru ini sudah tidak
menunjukan gaya Indische Empire Style
miliknya. Ini termasuk bagian pintu dan jendela pada fasad yang sudah berubah.
Tetapi, bila dilihat lebih jeli, perubahan ini sedikit meninggalkan sisa atau
bekas bangunan lama seperti jendela dengan lengkungan yang merupakan gaya khas
colonial.
Tampak Depan Bangunan Utara Hotel Toegoe Yogyakarta, sumber: dokumentasi pribadi |
Interior dalam Bangunan Utara, terlihat dinding bangunan yang sudah diganti menjadi kaca, sumber: dokumentasi pribadi |
Tidak
sebanyak perubahan yang terjadi pada bangunan utara, bangunan induk Hotel
Toegoe memiliki cukup banyak perubahan namun tidak mengubah semua dan kekhasan
gayanya. Fasad bangunan ini sama dengan bangunan utara namun lebih besar dan
tinggi dengan jumlah undakan yang sama. Lalu, di samping kanan-kiri bangunan
ini terdapat menara yang cukup tinggi. Bagian dalam bangunan ini cukup luas
dengan ruang utama berupa ruangan tanpa sekat dan hanya ada tangga menanjak ke
arah menara dipojok kanan dan kiri ruangan. Sayangnya, bagian tengah hingga
depan atap bangunan sudah ambruk karena kurangnya perawatan. Selain bagian
tersebut, hal yang masih khas dan patut dipertahankan adalah kaca patri
bergambar logo Hotel Toegoe yang berada di ruang tengah bangunan. Satu lagi hal yang perlu disayangkan adalah
bagian belakang bangunan yang pernah dijadikan showroom Kedaung Plaza. Bagian belakang bangunan induk ini dibobol
untuk bisa terhubung dengan bagian belakang bangunan selatan. Bangunan yang
juga didominasi warna putih-biru ini memiliki gaya bangunan Indische Empire Style. Bentuk jendela
jingga dan pintu kayu yang ada di ruang tengah masih menunjukan gaya bangunan
pada masa colonial. Meskipun begitu, unsur lain dari bangunan ini sudah banyak
mendapatkan modifiksi dan perubahan.
Tampak Depan Bangunan Induk Hotel Toegoe, sumber: dokumentasi pribadi |
Tampak Dalam Bangunan Induk Hotel Toegoe, terlihat lengkungan yang khas dan runtuhan atap, sumber: dokumentasi pribadi |
Pintu dalam menuju Ruang Belakang namun terhalang runtuhan atap, terlihat kaca patri dengan inisial 'HT' yang melambnagkan Hotel Toegoe yang indah, sumber: dokumentasi pribadi |
Sisa Tangga menuju menara Hotel Toegoe, sumber: dokumentasi pribadi |
Untuk
bangunan yang berada di selatan, bangunan ini memiliki warna yang relatif
berbeda dari dua bangunan lainnya. Jika kedua bangunan sebelumnya didominasi
oleh warna putih-biru, maka bangunan ini didominasi oleh warna kuning-buram dan
hijau. Dibandingkan dua bangunan lainnya, bangunan ini lebih memiliki unsur
bangunan hotel. Hal tersebut dapat dilihat pada atap fasad bangunan, yaitu;
berundak-undak dengan jendela kecil di tengah. Selain itu, pintu dan jendela
bangunan selatan Hotel Toegoe ini masih memiliki elemen khasan Belanda. Tetapi
sekali lagi kita harus prihatin karena hanya bagian tersebut yang menampakan
gaya bangunan lama Hotel Toege, selebihnya sudah diubah total dengan
pembangunan ulang di bagian timur bangunan menjadi Kedaung Plaza sebagai showroom dengan gaya arsitekur yang
terkesan modern.
Tampak Depan Bangunan Selatan Hotel Toegoe, sumber: dokumentasi pribadi |
Bangunan baru di selatan yang menyatukan bagian belakng banguanan selatan dan induk, memiliki gaya modern, sumber: dokumentasi pribadi |
Potrait Landscape Hotel Toegoe Yogyakarta pada tahun 1920, sumber: google.com |
Dari
pandangan arkeologi, bangunan Cagar Budaya ini sebenarnya masih dapat
‘diselamatkan’ dengan pemugaran total dan penambahan bagian tertentu yang tetap
mengacu pada dokumetasi lama Hotel Toege sebelum dilakukan rekonstruksi
ulang. Namun apalah angan jika tidak
dilakukan, hanya menjadi sampah impian. Proposal pemugaran sebenarnya sudah
diajukan oleh instasi berwajib seperti pemerintah kota dan BPCB demi
pelaksanaan pemugaran cagar untuk bisa dimanfaatkan kembali baik sebagai hotel
atau dibuat menjadi museum. Namun, niat baik ini tersandung hak milik Hotel
Toegoe yang merupakan properti pribadi. Ahli waris Alm. Probosutedjo sebagai
pihak utama yang dapat menentukan takdir Hotel Toege tidak pernah memberikan
keputusan pada proposal tersebut. Faktor lain yang menyebabkan hotel tua ini
terbengkalai adalah karena diduga adanya
konflik internal diantara pewaris Alm. Probosutedjo, yang menyebabkan
hotel ini menjadi tidak terawat. Akibat terbengkalainya bangunan ini, banyak
desas-desus di masyarkat yang mengatakan bahwa bangunan cagar budaya ini memang
sengaja dibiarkan rubuh atau hancur sendiri oleh pihak pemilik supaya dapat
dibangun bangunan lain. Tetapi, untuk fakta jelasnya, tidak bisa dipastikan
apakah hal tersebut benar adanya.
Sisa Tulang yang ada di Bangunan Utara Hotel Toegoe, sumber: dokumentasi pribadi |
Fakta yang pasti adalah bahwa hotel kuno yang
menyimpan banyak cerita sejarah ini ditinggal dalam keadaan tidak terawat dengan
debu dan kotoran memenuhi rungan. Atapnya rubuh, isinya berantakan, dan yang
cukup mengejutkan, terdapat tulang-belulang hewan yang sudah kering entah
bawaan manusia atau memang hewan tersebut mati dan mengering disana. Ditambah
kenyataan bahwa tempat ini dipagari dengan seng untuk menjauhkan hotel ini dari
kehidupan masyarakat. Hal-hal ini sudah cukup menunjukan betapa bangunan ini
sudah sangat terlupakan dan ditinggal dari teraleniasi dari kejayaan masa.
Hingga saat ini instansi berwajib masih mengusahakan hal terbaik untuk
dilakukan untuk menyelamatkan cagar budaya ini.
-Liche Centifolia-
Referensi
Radar Jogja., 17 Desember 2019. “Tinggal Sejarah Hotel Toegoe Jogja,
Riwayatmu Kini”. https://radarjogja.jawapos.com/2019/01/22/tinggal-sejarah-hotel-toegoe-jogja-riwayatmu-kini/https://radarjogja.jawapos.com/2019/01/22/tinggal-sejarah-hotel-toegoe-jogja-riwayatmu-kini/
Sutopo, Marsis., 2013. Kebijakan
Pelestarian Cagar Budaya II dalam Modul
Pelatihan Tenaga Teknis Pemugaran Tingkat Menengah 2013. Magelang: Balai
Konservasi Borobudur.
Wondoamiseno, Nini Sekarsari., 2006. Aspek
Interior Showroom pada Bangunan Bergaya Kolonial Belanda: Sebuah Studi Kasus
pada PT, Kedaung Group di Hotel Toegoe. Skripsi. Institut Seni Indonesia.
___., Bab II: Tinjauan Faktual dan Teoritis.
Universitas Islam Indonesia.
Subakti, Agung Gita., ___. Hotel
as Heritage Site Building; From Indonesia Perspektif. Bina Nusantara
University.
___., Pengembangan Hotel Toegoe
Yogyakarta: Keterpaduan Kegiatan Akomodasi, Bisnis, dan Apresiasi Budaya
sebagai faktor penentu perancangan tata ruang dalam dan tata ruang luar.
Universitas islam Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar