About Us

Foto saya
Tangerang, Banten, Indonesia

Jumat, 28 Februari 2020

Menjadi Saksi Tenggelamnya Keraton Surakarta


       
Menjadi Saksi Tenggelamnya Keraton Surakarta
Tampak Pintu Gerbang menuju Siti Inggil,
sumber: dokumentasi pribadi
          Keraton Surakarta merupakan sebuah istana dengan sejarah yang tidak singkat. Sebagai penerus dari Kerajaan Mataram yang sangat disegani di Pulau Jawa, Keraton Surakarta tidak hanya menjadi sebuah mahakarya kebudayaan dari segi material tetapi juga dari wujud kebudayaan sebagai ide dan aktivitas yang melekat dalam keberadaan keraton itu sendiri. Keraton Surakarta tidak bisa direpresentasikan sebagai gugusan bangunan yang melambangkan kejayaan kerajaan, Kerajaan Mataram juga sebuah dinamika, sebuah acuan, dan bukti harmonisasi beragam kebudayaan yang berkembang lintas periode. Adapun kebudayaan yang dimaksud adalah Kebudayaan Jawa, Kebudayaan Islam, hingga kebudayaan Kolonial baik kebudayaan kolonial indis maupun kebudayaan kolonial tradisional. Setidaknya pada masa-masa kejayaanya, Keraton Surakarta dapat dipandang sebagai representasi kekuasaan Jawa yang masih diakui oleh kaum penjajah. Kedigdayaan Keraton Surakarta dibuktikan dengan kehadiran Sunan dan putra putrinya dalam beragam acara yang diadakan oleh monarki Kerajaan Belanda di tanah eropa. Selain itu, pujangga-pujangga besar dari Keraton Surakarta bisa dikatakan merupakan sastrawan jawa yang tidak lagi memerlukan perkenalan. Salah satu pujangga besar Keraton Surakarta adalah Ronggowarsito yang mengabdi dan bahkan sempat berkonflik dengan Pakubuwono IX. Ronggowarsito dikenal dengan ramalan jaman edan yang dipandang oleh beberapa orang menggambarkan periode yang kita hidupi saat ini. Eksistensi Keraton Surakarta di kancah internasional dan lahirnya pujangga-pujangga besar pulau jawa dibawah naungan Keraton Surakarta menjadi bukti kebesaran hasil kebudayaan berupa ide dan aktivitas yang senantiasa melekat sebagai identitas Keraton Surakarta.

            Dibawah kepemimpinan Pakubuwono X Keraton Surakarta mencapai puncak kejayaanya secara material. Hampir seluruh bagian Keraton Surakarta mulai dari gerbang, bangunan-bangunan keraton hingga masjid-masjid utama di luar keraton sekalipun dipenuhi dengan simbol "PB X". Simbol ini menjadi bukti bagaimana Pakubuwono X dipuja sekaligus menunjukan dirinya sebagai raja teragung dalam sejarah Kasunanan Surakarta. Dibawah kepemimpinanya, Keraton Surakarta melakukan renovasi yang cukup masif lewat penambahan berbagai bangunan terutama bangunan ndalem di dalam lingkup Keraton Surakarta dengan gaya arsitektur eropa maupun indis. Pembangunan yang paling krusial di Keraton Surakarta semasa Pakubuwono X adalah perluasan tembok Balurwati yang juga berarti perluasan wilayah Keraton Surakarta secara keseluruhan. Tidak hanya mengembangkan bangunan-bangunan yang ada di dalam kompleks Keraton Surakarta, sang raja besar juga melakukan renovasi terhadap pesanggrahan-pesanggrahan yang telah dibangun oleh pendahulunya seperti Pesanggrahan Pracimoharjo dan Pesanggrahan Langenharjo.
Menjadi Saksi Tenggelamnya Keraton Surakarta

Perluasan dan pembangunan Keraton Surakarta dari masa Pakubuwana IX hingga Pakubuwana X,
sumber: Studi Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunan Surakarta hlm. 123


             Akan tetapi saat ini yang kita lihat hanyalah bagaimana Keraton Surakarta telah jatuh dan lumpuh dari kemahsyuranya. Kejayaan dan kemegahan Keraton Surakarta tampaknya telah runtuh seiring dengan berakhirnya kekuasaan kolonial di Nusantara. Keraton Surakarta yang dahulu telah menjadi identitas kebanggaan Pulau Jawa di mata para penjajah saat ini sama sekali tidak bisa mengembalikan kondisi keagunganya seperti sedia kala. Bukti termudah yang dapat kita lihat dari bangunan fisik keraton kasunanan surakarta. Bangunan siti inggil yang berarti tanah yang tinggi seharusnya menjadi simbol keagungan dan ketinggian suatu raja di tanah pusat wilayah kerajaanya. Saat ini bangunan yang berdiri di atas tanah ditinggikan tersebut tampaknya sudah tidak kuat lagi menahan beban perubahan jaman. Bangunan siti inggil Keraton Surakarta saat ini sangatlah kumuh. Kotoran dan bercak-bercak makanan menodai ubin bermotif dengan karya seni dan tentunya memiliki harga yang sangat tinggi pada masanya. Bau tidak sedap 
justru tercium dari ruangan sakral yang seharusnya dipenuhi dengan bau dupa dan kemenyan khas tradisi jawa. Pepohonan besar yang mengelilingi area siti inggil pada mulanya berfungsi sebagai peneduh area siti inggil. Nahasnya pohon ini sekarang telah menjadi sumber kotoran karena buahnya yang tidak pernah dibersihkan dan membuat area sekitar siti inggil menjadi semakin kumuh. Debu yang tebal melapisi setiap sudut ruangan dan jaring laba laba tidak jarang terlihat di berbagai sudut ruangan. Tidak hanya bangunan siti inggil, Tembok Balurwati yang menjadi bukti ekspansi wilayah keraton kebanggaan Pakubuwono X juga perlahan mulai roboh termakan usia dan karena kurangnya perawatan. Hal yang sama juga terjadi pada ndalem-ndalem di lingkungan inti keraton yang dimanfaatkan secara menyimpang dari fungsi aslinya atau dibayang-bayangi ancaman kerobohan.
Menjadi Saksi Tenggelamnya Keraton Surakarta
Koleksi Keramik yang dibiarkan di ruang terbuka dan rawan akan debu serta kotoran lainnya,
sumber: dokumentasi pribadi
            Lingkungan dalam keraton sendiri tidak menunjukan kondisi yang lebih baik dari lingkungan sekelilingnya. Museum Keraton yang semestinya menyuguhkan sisa kekuasaan Keraton justru dipenuhi dengan sarang laba-laba. Koleksi-koleksi magis nan sakral yang seharusnya menjadi simbol kedigdayaan keraton justru saat ini dilapisi dengan debu dan hanya dibiarkan menjamur di lemari kaca yang tampaknya tidak pernah terbuka. Bekas ndalem kadipaten yang memiliki gaya arsitektur kolonial nan megah justru tampak angker bukan karena koleksi pusaka-pusakanya namun karena lingkunganya yang kurang penerangan dan bisa dikatakan hampir mangkrak. Halaman ndalem kadipaten yang dulunya sempat difungsikan sebagai taman tempat raja melepaskan penatnya selama menjalankan tugas justru menjadi lahan gersang yang dipenuhi tumpukan daun kering berserakan. Arca-arca bekas batuan candi yang diambil dari berbagai wilayah bawahan Kerajaan Surakarta justru dalam kondisi nahas dan lepas dari dudukanya. Tidak mengherankan apabila pengunjung museum mengelus dada terhadap apa yang seharusnya menjadi identitas kebanggaan masyarakat nusantara di kancah internasional pada masa kolonial.
            Lantas apa penyebab kehancuran secara perlahan hasil-hasil kebudayaan material keraton Keraton Surakarta yang sarat akan makna ini? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu merujuk pada pemikiran Koentjaraningrat (2015: 6) tentang dua wujud kebudayaan selain kebudayaan material. Dua wujud ini adalah wujud kebudayaan sebagai ide dan aktifitas. Kedua wujud kebudayaan ini bisa jadi memiliki sifat yang abstrak dan memerlukan waktu untuk mengalisisnya. Akan tetapi dua wujud kebudayaan lainya merupakan kunci lestari atau tidaknya sebuah bangunan bersejarah dan tinggalan kebudayaan material lainya. Dapat diamati dengan seksama bahwa dua wujud kebudayaan lainya di Keraton Surakarta sudah lama tidak berfungsi dengan baik setelah konflik berlarut melanda tampuk kekuasaan Keraton Surakarta. Konflik ini semakin membuat kebudayaan dalam bentuk ide dan aktifitas di Keraton Surakarta hampir bisa dikatakan mandeg atau stagnan. Konflik yang terjadi pasca mangkatnya Pakubuwono XII juga membuat pemerintah tidak bisa berbuat banyak dalam menyelamatkan situs-situs bersejarah di wilayah Keraton Surakarta. Hal ini dikarenakan adanya UU nomor 11 tahun 2010 tentang cagar Budaya yang menyatakan bahwa sebuah cagar budaya tidak dapat diintervensi apabila sedang mengalami konflik kepemilikan dan konflik legalitas lainya. 
Menjadi Saksi Tenggelamnya Keraton Surakarta
Museum Keraton Surakarta yang kotor dnegan daun kering,
sumber: dokumentasi pribadi

Menjadi Saksi Tenggelamnya Keraton Surakarta
Arca Siwa Trisirah yang berada di halaman Museum Keraton, tampak kurang terawat karena lingkungan yang kotor dan kerusakan aus akibat air hujan,
sumber: dokumentasi pribadi
          Konflik bisa jadi merupakan alasan utama tenggelamnya pengaruh Keraton Surakarta ditengah arus zaman. Akan tetapi sejatinya, Keraton Surakarta adalah keraton yang sudah tidak asing lagi dengan konflik pasca meninggalnya Sunan Pakubuwono X. Masa kepemimpinan Pakubuwono XI dihadapi dengan permasalahan berat karena kedatangan Jepang di Indonesia. Kerajaan-kerajaan lokal yang masih diakui oleh Belanda tiba-tiba tidak lagi menerima pengakuan dan bantuan yang umumnya mereka terima. Pakubuwono XI sendiri juga tidak mampu untuk menyesuaikan diri dan memposisikan diri secara mapan sebagai sosok yang berpengaruh pada masa pemerintahan Jepang. Kegagalan ini sejatinya tidak hanya muncul di Keraton Surakarta tetapi juga di monarkhi-monarkhi lokal lainya yang dahulu diakui oleh Belanda. Akan tetapi memasuki kemerdekaan, Pakubuwono XII menyatakan kesetiaanya kepada republik Indonesia pada tanggal 1 September 1945 atau 4 hari sebelum maklumat dari Sultan Yogyakarta. Atas dukunganya Surakarta kemudian menjadi daerah istimewa yang hanya bertahan selama kurang dari satu tahun. Hal ini dikarenakan banyaknya konflik internal maupun eksternal yang menentang atau menghambat status Daerah Istimewa Surakarta. Faktor internal antara lain penolakan jabatan Mahapatih oleh masyarakat surakarta, konflik jabatan dengan Mangkunegaran, dan lain lain sementara konflik external adalah kuatnya jaringan oposisi dan penolakan ketika Yogyakarta ditunjuk menjadi ibukota dan menguatnya golongan kiri yang menjadikan Solo sebagai basis pergerakanya. Konflik yang berlarut ini tidak hanya menghancurkan kemampuan finansial Keraton Surakarta tetapi juga membuat segala wujud tradisi dan budaya yang berkembang di Keraton Surakarta perlahan sirna. Konflik semakin runcing ketika Pakubuwono XIII naik tahta setelah perebutan takhta kerajaan yang berkepanjangan. Konflik terbaru terjadi pada bulan september tahun 2019 dimana Pakubuwono XIII secara sepihak mengusir kerabatnya yang tinggal di ndalem-ndalem yang ada di sekeliling wilayah Keraton Surakarta termasuk anaknya sendiri. Konflik demi konflik terus berlanjut hingga saat ini dan membuat Keraton Surakarta tenggelam dalam permasalahan berlarut dan perlahan menghancurkan identitas dan dinamika kebudayaan yang pernah melekat kuat di keraton ini.
            Lantas apakah kita hanya bisa duduk manis dan menjadi saksi dari fenomena mengerikan yang menghapus kejayaan sejarah kita sendiri. Untuk menyelesaikan masalah ini, Keraton Surakarta harus menyadari bahwa perubahan zaman merupakan ancaman nyata terhadap kelestarian tradisi dan budaya apabila tidak disikapi dengan terbuka. Pola pikir kolot yang berpandangan bahwa sebagai keturunan darah biru sebuah keraton harus mengamankan aset dan kekuasaan pribadi di era yang modern ini sudah seharusnya dan sepantasnya ditinggalkan. Perebutan aset ekonomi dan kekuasaan yang berlarut di lingkungan petinggi keraton justru telah menghancurkan aset utama sesungguhnya Keraton Surakarta yaitu warisan luhur dinamika kebudayaan yang berkembang di Keraton itu sendiri. Akhir-akhir ini keraton sebagai simbol kebudayaan yang patut dibanggakan oleh masyarakat solo telah berubah menjadi simbol kekolotan dan kenaifan para penguasa dari zaman yang dianggap tidak relevan di era moderen ini. Selama keraton tidak berbenah maka dapat dipastikan bahwa kehancuran trah besar penerus Kerajaan Mataram justru disebabkan oleh kebodohan kaum darah biru yang diagung-agungkan dalam berbagai sumber penulisan sejarah atau lebih parah lagi dapat melegitimasi betapa Kerajaan Mataram dan keturunanya merupakan keluarga yang tidak pernah terlepas dari konflik internal atau terbiasa menghancurkan dirinya sendiri.
Menjadi Saksi Tenggelamnya Keraton Surakarta
Terlihat kerusakan dan kurangnya perawatan pada dinding bagian luar museum keraton,
sumber: dokumentasi pribadi

Menjadi Saksi Tenggelamnya Keraton Surakarta
Bangunan Siti Inggil Keraton Surakarta,
sumber: dokumentasi pribadi

Menjadi Saksi Tenggelamnya Keraton Surakarta
Bangunan Siti Inggil Keraton Surakarta tampak dari utara manghadap ke selatan,
sumber: dokumentasi pribadi

            Ironi Keraton Surakarta terpampang jelas dalam lambang dari kerajaan yang terpajang di sebagian besar sudut kompleks keraton. Tenggelam dalam judul dari artikel ini dapat dianalogikan dengan tenggelamnya surya yang menyinari bumi di lambang Keraton Surakarta. Surya itu bisa saja tenggelam dibawah endapan lumut yang menyimbolkan nafsu para bangsawan dan kedepanya cahaya itu kian tak nampak dan aus walaupun tidak susah untuk mengukir kembali dan merenofasi lambang itu seperti sedia kala. Makna tenggelam yang lain dapat dianalogikan dengan kapal Rojomolo kebanggaan kasunanan surakarta. Tenggelam tanpa jejak dan hanya menyisakan sumber tertulis dan secuil artefak tentang suatu keagungan yang tidak lagi dapat diselamatkan. Artefak itu pun hanya diam membisu dan menunggu menjadi rumah nyaman para laba-laba di Museum Keraton Surakarta. Hingga saat ini tampak jelas bahwa Keraton yang sedang sakit bisa dikatakan sedang sekarat dan masyarakat luas tampaknya enggan menolong sosok Keraton tua yang tenggelam. Mungkin juga masyarakat telah muak dengan sosok Keraton tua yang selalu saja berkonflik dengan dirinya sendiri bak orang gila. Gila akan kekuasaan dan gila akan harta hingga keraton yang dahulu merupakan kebanggaan bersama tak pernah mempedulikan tubuhnya yang tua ringkih.

-Nerv Isanapura-
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 2015. Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Jakarta: Gramedia pustaka utama
Hardiyanti, Nurul S., dkk. 2005. "Studi Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunan Surakarta" dalam jurnal Dimensi Teknik Arsitektur vol. 33, No. 1, Desember 2005: 112-124.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stasiun Rangkasbitung dari Masa ke Masa

  Stasiun Rangkasbitung Tahun 2022 Sumber: Dokumentasi Pribadi Sebagai salah satu saksi bisu sejarah Banten, keindahan dan keberadaan Stas...

Cek ini juga yuk!