Keraton
Surakarta merupakan sebuah istana dengan sejarah yang tidak singkat. Sebagai
penerus dari Kerajaan Mataram yang sangat disegani di Pulau Jawa, Keraton
Surakarta tidak hanya menjadi sebuah mahakarya kebudayaan dari segi material
tetapi juga dari wujud kebudayaan sebagai ide dan aktivitas yang melekat dalam
keberadaan keraton itu sendiri. Keraton Surakarta tidak bisa direpresentasikan
sebagai gugusan bangunan yang melambangkan kejayaan kerajaan, Kerajaan Mataram juga sebuah dinamika, sebuah acuan,
dan bukti harmonisasi beragam kebudayaan yang berkembang lintas periode. Adapun
kebudayaan yang dimaksud adalah Kebudayaan Jawa, Kebudayaan Islam, hingga
kebudayaan Kolonial baik kebudayaan kolonial indis maupun kebudayaan kolonial
tradisional. Setidaknya pada masa-masa kejayaanya, Keraton Surakarta dapat
dipandang sebagai representasi kekuasaan Jawa yang masih diakui oleh kaum
penjajah. Kedigdayaan Keraton Surakarta dibuktikan dengan kehadiran Sunan dan
putra putrinya dalam beragam acara yang diadakan oleh monarki Kerajaan Belanda
di tanah eropa. Selain itu, pujangga-pujangga besar dari Keraton Surakarta bisa
dikatakan merupakan sastrawan jawa yang tidak lagi memerlukan perkenalan. Salah
satu pujangga besar Keraton Surakarta adalah Ronggowarsito yang mengabdi dan
bahkan sempat berkonflik dengan Pakubuwono IX. Ronggowarsito dikenal dengan
ramalan jaman edan yang dipandang oleh beberapa orang menggambarkan periode
yang kita hidupi saat ini. Eksistensi Keraton Surakarta di kancah internasional
dan lahirnya pujangga-pujangga besar pulau jawa dibawah naungan Keraton
Surakarta menjadi bukti kebesaran hasil kebudayaan berupa ide dan aktivitas
yang senantiasa melekat sebagai identitas Keraton Surakarta.
Dibawah kepemimpinan Pakubuwono X Keraton
Surakarta mencapai puncak kejayaanya secara material. Hampir seluruh bagian Keraton
Surakarta mulai dari gerbang, bangunan-bangunan keraton hingga masjid-masjid
utama di luar keraton sekalipun dipenuhi dengan simbol "PB X". Simbol
ini menjadi bukti bagaimana Pakubuwono X dipuja sekaligus menunjukan dirinya
sebagai raja teragung dalam sejarah Kasunanan Surakarta. Dibawah
kepemimpinanya, Keraton Surakarta melakukan renovasi yang cukup masif lewat
penambahan berbagai bangunan terutama bangunan ndalem di dalam lingkup Keraton
Surakarta dengan gaya arsitektur eropa maupun indis. Pembangunan yang paling
krusial di Keraton Surakarta semasa Pakubuwono X adalah perluasan tembok
Balurwati yang juga berarti perluasan wilayah Keraton Surakarta secara
keseluruhan. Tidak hanya mengembangkan bangunan-bangunan yang ada di dalam
kompleks Keraton Surakarta, sang raja besar juga melakukan renovasi terhadap
pesanggrahan-pesanggrahan yang telah dibangun oleh pendahulunya seperti
Pesanggrahan Pracimoharjo dan Pesanggrahan Langenharjo.
Perluasan dan pembangunan Keraton Surakarta dari masa Pakubuwana IX
hingga Pakubuwana X,
sumber: Studi Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton
Kasunan Surakarta hlm. 123
Akan tetapi saat ini yang kita lihat hanyalah bagaimana Keraton Surakarta telah jatuh dan lumpuh dari kemahsyuranya. Kejayaan dan kemegahan Keraton Surakarta tampaknya telah runtuh seiring dengan berakhirnya kekuasaan kolonial di Nusantara. Keraton Surakarta yang dahulu telah menjadi identitas kebanggaan Pulau Jawa di mata para penjajah saat ini sama sekali tidak bisa mengembalikan kondisi keagunganya seperti sedia kala. Bukti termudah yang dapat kita lihat dari bangunan fisik keraton kasunanan surakarta. Bangunan siti inggil yang berarti tanah yang tinggi seharusnya menjadi simbol keagungan dan ketinggian suatu raja di tanah pusat wilayah kerajaanya. Saat ini bangunan yang berdiri di atas tanah ditinggikan tersebut tampaknya sudah tidak kuat lagi menahan beban perubahan jaman. Bangunan siti inggil Keraton Surakarta saat ini sangatlah kumuh. Kotoran dan bercak-bercak makanan menodai ubin bermotif dengan karya seni dan tentunya memiliki harga yang sangat tinggi pada masanya. Bau tidak sedap justru tercium dari ruangan sakral yang seharusnya dipenuhi dengan bau dupa dan kemenyan khas tradisi jawa. Pepohonan besar yang mengelilingi area siti inggil pada mulanya berfungsi sebagai peneduh area siti inggil. Nahasnya pohon ini sekarang telah menjadi sumber kotoran karena buahnya yang tidak pernah dibersihkan dan membuat area sekitar siti inggil menjadi semakin kumuh. Debu yang tebal melapisi setiap sudut ruangan dan jaring laba laba tidak jarang terlihat di berbagai sudut ruangan. Tidak hanya bangunan siti inggil, Tembok Balurwati yang menjadi bukti ekspansi wilayah keraton kebanggaan Pakubuwono X juga perlahan mulai roboh termakan usia dan karena kurangnya perawatan. Hal yang sama juga terjadi pada ndalem-ndalem di lingkungan inti keraton yang dimanfaatkan secara menyimpang dari fungsi aslinya atau dibayang-bayangi ancaman kerobohan.
Koleksi Keramik yang dibiarkan di ruang terbuka dan rawan akan debu serta kotoran lainnya, sumber: dokumentasi pribadi |
Lingkungan dalam keraton sendiri
tidak menunjukan kondisi yang lebih baik dari lingkungan sekelilingnya. Museum
Keraton yang semestinya menyuguhkan sisa kekuasaan Keraton justru dipenuhi
dengan sarang laba-laba. Koleksi-koleksi magis nan sakral yang seharusnya
menjadi simbol kedigdayaan keraton justru saat ini dilapisi dengan debu dan hanya
dibiarkan menjamur di lemari kaca yang tampaknya tidak pernah terbuka. Bekas
ndalem kadipaten yang memiliki gaya arsitektur kolonial nan megah justru tampak
angker bukan karena koleksi pusaka-pusakanya namun karena lingkunganya yang
kurang penerangan dan bisa dikatakan hampir mangkrak. Halaman ndalem kadipaten
yang dulunya sempat difungsikan sebagai taman tempat raja melepaskan penatnya
selama menjalankan tugas justru menjadi lahan gersang yang dipenuhi tumpukan
daun kering berserakan. Arca-arca bekas batuan candi yang diambil dari berbagai
wilayah bawahan Kerajaan Surakarta justru dalam kondisi nahas dan lepas dari
dudukanya. Tidak mengherankan apabila pengunjung museum mengelus dada terhadap
apa yang seharusnya menjadi identitas kebanggaan masyarakat nusantara di kancah
internasional pada masa kolonial.
Lantas apa penyebab kehancuran
secara perlahan hasil-hasil kebudayaan material keraton Keraton Surakarta yang
sarat akan makna ini? Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu merujuk pada
pemikiran Koentjaraningrat (2015: 6) tentang dua wujud kebudayaan selain
kebudayaan material. Dua wujud ini adalah wujud kebudayaan sebagai ide dan
aktifitas. Kedua wujud kebudayaan ini bisa jadi memiliki sifat yang abstrak dan
memerlukan waktu untuk mengalisisnya. Akan tetapi dua wujud kebudayaan lainya
merupakan kunci lestari atau tidaknya sebuah bangunan bersejarah dan tinggalan
kebudayaan material lainya. Dapat diamati dengan seksama bahwa dua wujud
kebudayaan lainya di Keraton Surakarta sudah lama tidak berfungsi dengan baik
setelah konflik berlarut melanda tampuk kekuasaan Keraton Surakarta. Konflik
ini semakin membuat kebudayaan dalam bentuk ide dan aktifitas di Keraton
Surakarta hampir bisa dikatakan mandeg atau stagnan. Konflik yang terjadi pasca
mangkatnya Pakubuwono XII juga membuat pemerintah tidak bisa berbuat banyak
dalam menyelamatkan situs-situs bersejarah di wilayah Keraton Surakarta. Hal
ini dikarenakan adanya UU nomor 11 tahun 2010 tentang cagar Budaya yang
menyatakan bahwa sebuah cagar budaya tidak dapat diintervensi apabila sedang
mengalami konflik kepemilikan dan konflik legalitas lainya.
Museum Keraton Surakarta yang kotor dnegan daun kering, sumber: dokumentasi pribadi |
Arca Siwa Trisirah yang berada di halaman Museum Keraton, tampak kurang terawat karena lingkungan yang kotor dan kerusakan aus akibat air hujan, sumber: dokumentasi pribadi |
Konflik bisa jadi merupakan alasan
utama tenggelamnya pengaruh Keraton Surakarta ditengah arus zaman. Akan tetapi
sejatinya, Keraton Surakarta adalah keraton yang sudah tidak asing lagi dengan
konflik pasca meninggalnya Sunan Pakubuwono X. Masa kepemimpinan Pakubuwono XI
dihadapi dengan permasalahan berat karena kedatangan Jepang di Indonesia.
Kerajaan-kerajaan lokal yang masih diakui oleh Belanda tiba-tiba tidak lagi
menerima pengakuan dan bantuan yang umumnya mereka terima. Pakubuwono XI
sendiri juga tidak mampu untuk menyesuaikan diri dan memposisikan diri secara
mapan sebagai sosok yang berpengaruh pada masa pemerintahan Jepang. Kegagalan
ini sejatinya tidak hanya muncul di Keraton Surakarta tetapi juga di
monarkhi-monarkhi lokal lainya yang dahulu diakui oleh Belanda. Akan tetapi
memasuki kemerdekaan, Pakubuwono XII menyatakan kesetiaanya kepada republik
Indonesia pada tanggal 1 September 1945 atau 4 hari sebelum maklumat dari
Sultan Yogyakarta. Atas dukunganya Surakarta kemudian menjadi daerah istimewa
yang hanya bertahan selama kurang dari satu tahun. Hal ini dikarenakan
banyaknya konflik internal maupun eksternal yang menentang atau menghambat
status Daerah Istimewa Surakarta. Faktor internal antara lain penolakan jabatan
Mahapatih oleh masyarakat surakarta, konflik jabatan dengan Mangkunegaran, dan
lain lain sementara konflik external adalah kuatnya jaringan oposisi dan
penolakan ketika Yogyakarta ditunjuk menjadi ibukota dan menguatnya golongan
kiri yang menjadikan Solo sebagai basis pergerakanya. Konflik yang berlarut ini
tidak hanya menghancurkan kemampuan finansial Keraton Surakarta tetapi juga
membuat segala wujud tradisi dan budaya yang berkembang di Keraton Surakarta
perlahan sirna. Konflik semakin runcing ketika Pakubuwono XIII naik tahta
setelah perebutan takhta kerajaan yang berkepanjangan. Konflik terbaru terjadi
pada bulan september tahun 2019 dimana Pakubuwono XIII secara sepihak mengusir
kerabatnya yang tinggal di ndalem-ndalem yang ada di sekeliling wilayah Keraton
Surakarta termasuk anaknya sendiri. Konflik demi konflik terus berlanjut hingga
saat ini dan membuat Keraton Surakarta tenggelam dalam permasalahan berlarut
dan perlahan menghancurkan identitas dan dinamika kebudayaan yang pernah
melekat kuat di keraton ini.
Lantas apakah kita hanya bisa duduk
manis dan menjadi saksi dari fenomena mengerikan yang menghapus kejayaan
sejarah kita sendiri. Untuk menyelesaikan
masalah ini, Keraton Surakarta harus menyadari bahwa perubahan zaman merupakan
ancaman nyata terhadap kelestarian tradisi dan budaya apabila tidak disikapi
dengan terbuka. Pola pikir kolot yang berpandangan bahwa sebagai keturunan
darah biru sebuah keraton harus mengamankan aset dan kekuasaan pribadi di era
yang modern ini sudah seharusnya dan sepantasnya ditinggalkan. Perebutan aset ekonomi
dan kekuasaan yang berlarut di lingkungan petinggi keraton justru telah
menghancurkan aset utama sesungguhnya Keraton Surakarta yaitu warisan luhur
dinamika kebudayaan yang berkembang di Keraton itu sendiri. Akhir-akhir ini
keraton sebagai simbol kebudayaan yang patut dibanggakan oleh masyarakat solo
telah berubah menjadi simbol kekolotan dan kenaifan para penguasa dari zaman
yang dianggap tidak relevan di era moderen ini. Selama keraton tidak berbenah
maka dapat dipastikan bahwa kehancuran trah besar penerus Kerajaan Mataram
justru disebabkan oleh kebodohan kaum darah biru yang diagung-agungkan dalam
berbagai sumber penulisan sejarah atau lebih parah lagi dapat melegitimasi
betapa Kerajaan Mataram dan keturunanya merupakan keluarga yang tidak pernah
terlepas dari konflik internal atau terbiasa menghancurkan dirinya sendiri.
Terlihat kerusakan dan kurangnya perawatan pada dinding bagian luar museum keraton, sumber: dokumentasi pribadi |
Bangunan Siti Inggil Keraton Surakarta, sumber: dokumentasi pribadi |
Bangunan Siti Inggil Keraton Surakarta tampak dari utara manghadap ke selatan, sumber: dokumentasi pribadi |
Ironi Keraton Surakarta terpampang
jelas dalam lambang dari kerajaan yang terpajang di sebagian besar sudut
kompleks keraton. Tenggelam
dalam judul dari artikel ini dapat dianalogikan dengan tenggelamnya surya yang
menyinari bumi di lambang Keraton Surakarta. Surya itu bisa saja tenggelam
dibawah endapan lumut yang menyimbolkan nafsu para bangsawan dan kedepanya
cahaya itu kian tak nampak dan aus walaupun tidak susah untuk mengukir kembali
dan merenofasi lambang itu seperti sedia kala. Makna tenggelam yang lain dapat dianalogikan
dengan kapal Rojomolo kebanggaan kasunanan surakarta. Tenggelam tanpa jejak dan
hanya menyisakan sumber tertulis dan secuil artefak tentang suatu keagungan
yang tidak lagi dapat diselamatkan. Artefak itu pun hanya diam membisu dan
menunggu menjadi rumah nyaman para laba-laba di Museum Keraton Surakarta. Hingga
saat ini tampak jelas bahwa Keraton yang sedang sakit bisa dikatakan sedang
sekarat dan masyarakat luas tampaknya enggan menolong sosok Keraton tua yang
tenggelam. Mungkin juga masyarakat telah muak dengan sosok Keraton tua yang selalu
saja berkonflik dengan dirinya sendiri bak orang gila. Gila akan kekuasaan dan
gila akan harta hingga keraton yang dahulu merupakan kebanggaan bersama tak
pernah mempedulikan tubuhnya yang tua ringkih.
-Nerv
Isanapura-
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 2015. Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan.
Jakarta: Gramedia pustaka utama
Hardiyanti, Nurul S., dkk. 2005. "Studi
Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunan Surakarta" dalam
jurnal Dimensi Teknik Arsitektur vol. 33, No. 1, Desember 2005: 112-124.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar