About Us

Foto saya
Tangerang, Banten, Indonesia

Kamis, 19 Maret 2020

Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya


Masjid Agung Banten, sumber :  https://daerah.sindonews.com/newsread/1187740/29/keistimewaan-masjid-agung-banten-padukan-tiga-gaya-arsitektur-sarat-filosofi-1489345132
Umum halnya terdapat masjid utama pada suatu daerah, terutama daerah pemerintahan pusat kerajaan Islam. Masjid ini biasanya dinamakan Masjid Agung di Jawa, Masjid Raya di Sumatera, atau dikenal juga sebagai Masjid Negara. Fungsi Masjid Agung adalah sebagai tempat salat berjamaa’ah dan juga kegiatan religius-sosial lainnya, selain itu masjid merupakan simbol dari kerajaan atau Negara Islam.

Banten sebagai daerah penyebar agama Islam yang cukup tua pantas mendapatkan perhatian lebih. Salah satu hal yang menjadi ciri khas Banten adalah Masjid Agung Banten yang dibangun pada masa pemerintahan sultan pertama Banten, Sultan Maulana (1522-1570), yang ada hingga saat ini dengan fungsi yang sama.
Tidak adanya batasan atau aturan mengenai bentuk bangunan masjid menyebabkan munculnya berbagai sarana tambahan sebagai wujud adaptasi yang menjadi paket masjid dan menjadi satu kesatuan, atau disebut ‘masjid vernakular’. Di pulau Jawa sendiri terbentuk suatu model masjid yang menjadi ciri khas. Namun tidak seperti Masjid Agung lainnya di Jawa, Masjid Agung Banten memiliki berbagai unsur asing seperti Tionghoa dan Belanda. Hal ini menurut Juliadi (2007) dikarenakan lokasi Masjid Agung Banten, khususnya Banten, berada dekat pelabuhan yang ramai sehingga banyak dikunjungi oleh pedagang asing baik Tionghoa, Arab, Belanda, dan sebagainya. Oleh karenanya, banyak unsur asing hadir diarsitektur bangunan masjid ini, seperti: Jawa, Hindu-Buddha, Tionghoa, dan Belanda. Unsur-unsur ini dapat ditemui pada seluruh bagian bangunan mulai dari bangunan utama, serambi, tiamah, hingga menara.
Keberadaan unsur-unsur ini jika ditinjau kembali sejarahnya maka akan ditemukan dalam catatan-catatan kuno terutama dari Belanda yang menyebutkan bahwa bangunan-bangunan yang ada pada kompleks masjid ini didirikan pada masa yang berbeda juga dengan arsitek yang berbeda dan berasal dari kewarganegaraan yang berbeda pula. Mereka adalah Raden Sepat yaitu seorang arsitektur dari Majapahit yang juga membangun Masjid Agung Demak, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, dan Masjid Agung Banten sendiri, kemudian arsitek Cek Ban Su (Tjek Ban Tjut) yang merupakan seorang Tionghoa, dan Henrik Lucaz Cardeel (Hendrik Lucaasz Cardeel) yang merupakan seorang mualaf Belanda yang melarikan diri dari Batavia ke Banten pada masa pemerintahan Sultan Haji (Laksmi, 2017 : 365-366)(Sari, 2017 : 5-6).
            Banyak tulisan yang telah membahas Masjid Agung Banten secara keseluruhan baik dari segi budaya, arsitektur, makna dan filosofi dan sebaginya seperti tulisan milik Juliadi (2007), Laksmi (2017), Sari (2017), dan Andika (2017). Oleh karena itu, penulis akan mengulas ulang dan memfokuskan pembahasan hanya pada wujud akulturasi budaya pada elemen bangunan masjid yang menunjukan Masjid Agung Banten sebagai wujud akulturasi budaya.

Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten terletak di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, Indonesia. Masjid ini didirikan dengan peletakan tata kota Islam yang menerapkan atau meletakan masjid di sebelah barat alun-alun dengan Keraton Surosowan berada di Tenggara masjid. 
Masjid Jawa memiliki beberapa elemen utama, antara lain adalah mihrab, mimbar, liwan atau ruang utama untuk salat, sahn atau tempat berwudhu, maqsura, dikka, riwaq atau serambi, atap, dan menara. Sedangkan, ciri lain dari masjid Jawa antara lain; berdenah segi empat, fondasi bangunan persegi, atap tumpang, terdapat mihrab, terdapat serambi, terdapat pintu gerbang, berada di sebelah barat alun-alun, dibangun dengan bahan mudah rusak (kayu), terdapat kolam, serta dibuat dengan konsep rumah panggung. 
Denah Masjid Agung Banten,
 sumber : https://www.rumahdesaiminimalis.com/
Masjid Agung Banten memiliki luas tanah 1.3 ha dan dikelilingi oleh pagar tembok dengan tinggi satu meter, memiliki arah hadap ke timur, dan terdiri atas tiga bangunan utama, yaitu; ruang utama yang mana didalamnya terdapat ruang utama salat, pawestren, mihrab, mimbar; serambi timur yang memiliki atap limasan yang bersusun dua, dan lainnya; kemudian bangunan tiamah yang berada di sisi selatan ruang utama; dan, terakhir adalah menara yang memiliki berbagai fungsi serta arti.
Pada ruang utama, sebagai inti atau ruang sakral di Masjid Agung Banten, berukuran 25 m x 19 m ini memiliki alas dari keramik warna hijau dengan bercak putih, dinding pada bagian timur yang memisahkan ruangan utama dengan serambi terdapat empat pintu dengan lubang angin yang merupakan pintu masuk utama. Pintu ini memiliki dua daun pintu yang terbuat dari kayu dengan ‘motif kertas tempel’. Pada dinding sebelah selatan terdapat dinding pembatas dengan pawestren yang merupakan tempat salat kaum wanita yang juga terdapat pintu penghubung di sisi sudut barat. Pada ruang utama ini terdapat tiang-tiang sebagai penopang atap yang berjumlah 24 tiang secara keseluruhan dengan empat tiang soko guru di tengah ruangan dan merupakan tiang paling tinggi yang berbentuk segi delapan yang merupakan denah atau bentuk Indonesia pra-Islam dari kayu jati dengan tinggi 11 m. Terdapat juga umpak berbentuk labu yang terbuat dari batu andesit tanpa hiasan, 20 tiang lainnya memiliki tinggi yang berbeda-beda menyesuaikan pada atapnya yang bertingkat dan dengan umpak yang terbuat dari batuan andesit. Ruang utama masjid ini terlarang atau tidak diperbolehkan untuk dimasuki oleh orang non-muslim (Juliandi, 2007 : 66).
Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya
Atap dan Penyusunnya pada bagian serambi timur, sumber: dokumentasi pribadi
Kemudian, elemen penting dalam masjid adalah mihrab sebagai penunjuk arah kiblat. Di Masjid Agung Banten, mihrab berada di dinding barat ruang utama masjid yang berbentuk setengah lingkaran dan pada mukanya terdapat dua tiang semu yang berbentuk balok di kanan-kiri masjid. Mihrab ini diwarnai kuning diatas fondasi setinggi 90 cm. Jika mihrab pada masjid umumnya berada di tengah dinding barat ruang utama, Masjid Agung Banten tidak meletakannya di tengah, melainkan sedikit ke selatan. Namun, jika garis dinding ditarik hingga ujung pawestren yang berada di sebelah ruang utama maka ditemukan bahwa mihrab ini berada di tengah dinding tersebut.
Kemudian elemen yang pasti ada pada setiap Masjid Agung adalah mimbar yang digunakan terutama pada salat jum’at untuk menyampaikan ceramah. Jika umumnya pada masjid tipe Jawa mimbar terletak di samping kanan dan menyatu dengan dinding, maka tidak untuk Masjid Agung Banten yang terletak di sebelah kanan mihrab namun tidak menempel dengan dinding, berdenah empat persegi panjang, dengan lima buah anak tangga untuk menaikinya, fondasi mimbar di bawahnya yang memiliki tinggi 90 cm ini terdapat dua lubang langsung, dan pada pipi mimbar yang terdapat hiasan teratai, fauna, dan lainnya juga terdapat motif bingkai cermin, serta pada penampil mimbar yang berbentuk lengkungan terdapat tulisan Arab gundul yang diterjemahkan oleh Sodrie menjadi “Ini mimbar waqaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang 23-1323 Hijriah Kanjeng Nabi sama-sama mas haji…….(rusak). Kemanisan Ciruas.” (Juliadi, 2007 : 73). Dari terjemahan ini penulis mencoba menyimpulkan bahwa mimbar Masjid Agung Banten ini merupakan waqaf atau pemberian secara sukarela dari Nyai Haji Irad Jonjang pada 23 Syawal 1323 Hijriah atau pada tahun 1903 M. Dari terjemahan tersebut, muncul kemungkinan terdapat mimbar terdahulu yang lebih tua namun rusak atau oleh sebab lainnya sehingga diganti.
Pawestren atau tempat salat khusus wanita yang berada di sebelah selatan ruang utama salat, memiliki pintu di dinding utara yang menghubungkan dengan ruang utama salat, dan pintu lainnya di dinding selatan yang menghubungkannya dengan kompleks makam Kesultanan Banten di selatan.
Makam yang ada di Masjid Agung Banten terdapat di dalam dan di luar masjid. Kompleks makam yang berada di luar masjid terdiri dari lima cungkup yang tertutup dinding, salah satunya merupakan Makam Sultan Maulana Hasanuddin yang wafat pada 1570. Selain itu, terdapat pula sembilan makam sultan lainnya beserta istri mereka. Cungkup dikelilingi oleh dinding atau tembok yang memiliki pintu yang di kanan-kirinya terdapat gapura semu pelipit dan tangga berpipi dengan jumlah anak tangga lima buah. Pada gapura terdapat motif belah ketupat dengan lingkaran didalamnya yang merupakan ‘motif kertas tempel’. Terdapat jendela dari kayu pada dinding selatan dan utara.
Di sisi timur masjid terdapat serambi yang memiliki enam pasang tiang. Serambi ini memiliki atap yang terpisah dari ruang utama masjid, atapnya merupakan limasan yang bertingkat dua. Di depan serambi timur terdapat kolam yang dipisah menjadi empat bagian dengan penghalang berupa tembok yang disatukan dengan lubang dibawahnya. Selain serambi timur, di sekeliling masjid juga terdapat serambi terbuka lainnya, kecuali serambi selatan yang tertutup karena merupakan kompleks makam sultan atau penguasa yang pernah berkuasa di Banten. 
Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya_OB
Kolam sebagai tempat berwudhu di depan serambi timur masjid, sumber: dokumentasi pribadi
Bangunan tiamah yang berada di selatan masjid merupakan bangunan yang dibangun oleh Sultan Abdul Kahhar setelah kembali dari Desa Tihamah, Arab. Sebagai mana Desa Tihamah tersebut yang banyak penduduknya ramai membahas masalah-masalah keagamaan, maka setelah sultan kembali ia kemudian membangun bangunan tiamah ini untuk tempat pengajaran serta membicarakan permasalahan agama. Bangunan ini dibangun oleh arsitektur Belanda sehingga terdapat unsur Belanda didalamnya. Bangunan ini berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 19,5 m x 6,5 m x 11,5 m dan bertingkat dua dengan jendela lebar di seitap tingkatannya, setiap tingkat pada bangunan ini terbagi atas tiga ruangan dengan luas ruangan barat dan timur mempunyai ukuran 5,62 m x 5,30 m dan ruangan di tengah berukuran 7,25 m x 5,60 m. Atap bangunan tiamah ini merupakan bentuk limasan yang ditunjang dengan dinding-dinding bangunan bukan oleh tiang-tiang penyangga.
Atap sebagai ciri khas masjid tipe Jawa adalah atap tumpang yang selain untuk menyesuaikan iklim di Jawa terutama pada saat hujan besar, atap tumpang juga berfungsi sebagai sirkulasi udara yang baik. Atap pada Masjid Agung Banten ini tedapat dua atap berbeda yaitu pada serambi timur dan ruang utama salat. Atap pada serambi timur merupakan atap limasan yang bertingkat dua. Kemudian atap pada ruang utama masjid bertingkat lima yang semakin mengecil dan pada puncak atap terdapat memolo yang terbuat dari tanah liat.  Dua atap paling atas pada ruang utama masjid memiliki kesamaan dengan pagoda dari Cina. Memolo sebagai puncak atap memiliki fungsi secara teknis sebagai penutup celah saat hujan dan memperkuat puncak atap.
Tampak atap Masjid Agung Banten yang bertumpang, sumber: google.com
Elemen lainnya yang unik dari Masjid Agung Banten adalah adanya istiwa atau jam matahari sebagai penanda atau penunjuk waktu untuk waktu salat lima waktu. Istiwa ini terdapat pada halaman timur dekat gapura, berbentuk segi delapan yang terbuat dari semen berwarna kuning muda dengan lubang lingkaran ditenganya yang diisi oleh tembok berbentuk silang yang masing-masing mengarah kepada empat mata angin dan bayangannya menjadi penanda atau penunjuk waktu salat dan waktu untuk mengumandangkan adzan. 
Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya_OB
Tampak atas Istiwa, sumber: dokumentasi pribadi

Tampak samping Istiwa,
sumber: http://gpswisata Indonesia.wordpress.com/2014/03/03/masjid-agung-banten-serang-banten/amp/
Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya_OB
Menara Masjid yang menyerupai Mercusuar berada di timur Masjid, sumber: dokumentasi pribadi
Unsur baru pada Masjid Agung Banten ini adalah menara. Namun jika berdasarkan pada catatan-catatan Belanda sebenarnya bangunan menara ini bukanlah suatu elemen baru pada bangunan masjid melainkan sudah ada mungkin sejak dibangunnya masjid itu sendiri ini. Akan tetapi, pada tahun 1694 tidak terdapat catatan mengenai keberadaan menara ini (Juliadi, 2007: 109) dan baru muncul pada tahun 1769. Berdasarkan catatan ini, Juliadi (2007) berpendapat bahwa bangunan menara ini pernah rusak atau runtuh dan hilang kemudian baru dibangun kembali pada 1694-1769 oleh arsitek Belanda. Andika (2017: 176) berpendapat bahwa menara yang sebelumnya sudah ada bersamaan dengan masjid dibanguan oleh Cek Ban Cu seorang arsitek Cina, sehingga dapat diimajinasikan bahwa menara lama memiliki kemungkinan memiliki unsur-unsur tionghoa, dan selanjutnya sebagaimana yang telah dijelaskan penulis sebelumnya bahwa menara yang lama ini runtuh dan diganti atau direnovasi oleh arsitek Belanda muslim yaitu Henrik Lucaz Cardeel. Menara yang baru ini berdenah segi delapan dengan tinggi kurang lebih 23-24 m dengan empat pintu masuk menara yang seluruhnya sama dan terdapat kala yang distilirisasi. Menara ini memiliki tangga yang melingkar. Atapnya bertingkat dua dan memiliki bentuk seperti mercusuar karena tinggi, pandangan yang didapatkan dari ketinggian puncak yang terlihat laut disekeliling Banten yang seakan-akan mengawasi kapal yang dating dan pergi, dan juga arsitekturnya yang menyerupai mercusuar peninggalan Belanda di Anyer.

Pembahasan
Masjid Agung Banten didirikan pada masa Sultan Muhammad, anak dari Sunan Gunung Jati sebagai penyebar Islam di wilayah Banten. Diperkirakan masjid ini berdiri pada tahun 1522-1570 setelah pusat pemerintahan pindah dari Banten Girang ke lokasi Keraton Surosowan sekarang. Lokasi Kesultanan Banten yang merupakan kota pelabuhan yang ramai sehingga tidak aneh jika terdapat banyak pendatang asing dari berbagai Negara yang datang ke pelabuhan ini. Keberagaman pendatang dan Banten sebagai pusat penyebaran Islam saat itu menarik banyak pendatang masuk Islam. Beberapa diantara mereka merupakan tukang batu ataupun arsitektur, sehingga sangatlah dimungkinkan banyak unsur asing masuk dalam arsitektur Masjid Agung Banten. Hal lain yang mendukung kemungkinan ini adalah bahwa tidak adanya batasan atau aturan mengenai bangunan masjid, karena masjid pada dasarnya hanyalah tempat untuk sujud atau salat dan dalam Hadist dan Al-Qur’an pun disebutkan bahwa seluruh tanah di muka bumi adalah tempat untuk sujud melaksanakan salat, hanya mihrab lah sebagai penanda arah kiblat yang menjadi penciri atau elemen yang pasti ada pada masjid.
Berdasarkan data yang didapatkan bahwa Masjid Agung Banten ini didirikan atau dibangun oleh tiga arsitektur yang dengan dua diantaranya merupakan warga asing yang menganut agama Islam. Ketiga arsitek ini tidak mengerjakan pembangunan masjid secara bersamaan namun pada waktu yang berbeda-beda. Setelah penjabaran mengenai elemen-elemen pada Masjid Agung Banten dapat diketehui bahwa pertama pada atap ruang utama masjid yang bertingkat lima mirip seperti pagoda, seperti diungkapkan Juliadi (2007 : 79) atap masjid mirip seperti pagoda yang ada di Cina, tetapi jika diamati lagi atap tumpang seperti ini lebih cocok jika disamakan dengan pagoda katmandu di Nepal. Kemudian, selain unsur Jawa pada masjid ini terdapat pula kala serta model tumpal pada masjid dan menara yang merupakan unsur kelanjutan dari masa Hindu-Buddha. Menara yang merupakan bangunan pengganti dari menara yang lama memiliki begitu banyak unsur-unsur Belanda jika dibandingkan dengan mercusuar yang merupakan tinggalan Belanda, terutama yang berada di Anyer dimana menaranya memiliki bentuk yang hampir sama dengan menara Masjid Agung Banten. Oleh karena bentuknya yang seperti ‘mercusuar’, banyak ahli yang memperdebatkan fungsi dari menara ini apakah sebagai pemanggil umat Islam untuk salat? Atau sebagai mercusuar karena sudut pandang menara yang sangat strategis jika dilihat dari atas menara? Meskipun dalam catatan –catatan Belanda banyak disebutkan bahwa fungsi menara ini dahulu adalah sebagai tempat penyimpanan senjata dan kemudian berubah menjadi pemanggil umat Islam untuk salat pada tahun 1769, sehingga lebih tepat dikatakan bahwa menara masjid ini berdiri dan dibangun atas dasar bangunan mercusuar, berkaitan juga dengan arsitekturnya yang merupakan seorang Belanda. Oleh karennya sebutan Masjid Agung Banten sebagai masjid dengan wujud akulturasi budaya bukanlah hal yang buruk, karena dengan keberagaman budaya yang ada di masjid ini menarik mereka pendatang asing yang mualaf merasa nyaman beribadah di Masjid Agung Banten yang merupakan masjid utama atau Masjid Agung simbol Kesultanan Banten ini. Akulturasi ini juga relevan jika dikaitkan dengan Banten sebagia kota pelabuhan saat itu yang mana banyak didatangi oleh pedagang asing.
Masjid Agung Banten ini sudah mengalami delapan kali pemugaran, yaitu semenjak tahun 1923 sampai dengan 1987. Banyaknya pemugaran yang dilakukan oleh berbagai pihak beberapa diantaranya banyak yang menghapus bentuk elemen awal seperti lantai yang awalnya ditutupi jerami kemudian diganti dengan keramik, pembuatan tempat wudhu atau sahn yang sebelumnya menggunakan kolam yang berada di depan serambi timur masjid, dan lainnya. Namun penggantian ini merupakan usaha untuk beradaptasi dengan zaman dan juga untuk kenyamanan beribadah umat Islam.

Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya_OB

Tampak Utara Masjid Agung Banten dari pintu masuknya pada tahun 2019, sumber: dokumentasi pribadi
Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya_OB
Perubahan yang terjadi antara lain penambahan kolam pancuran, 'payung', dan lantai yang dimarmer, sumber: dokumentasi pribadi
Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya_OB
Perubahan fisik sekaligus makna masjid yang harusnya sakral menjadi berubah, sumber: dokumentasi pribadi

Kesimpulan
Banten sebagai Kesultanan Islam yang juga merupakan kota pelabuhan dan banyak didatangi pedagang asing, tentu tidak heran jika terdapat banyak pencampuran budaya di dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Banten yang juga saat itu berperan besar dalam penyebaran Agama Islam ke daerah di sekitar mereka sangat memegang teguh jati diri mereka sebagai umat Islam. Dan untuk memperkuat bahwa mereka adalah Kesultanan Islam, maka pembangunan masjid merupakan hal yang wajib sebagai sarana umat Islam untuk beribadah. Masjid Agung Banten sebagai Masjid Agung di Kesultanan Banten dibangun berdasarkan masjid vernakular tipe Jawa dengan peletakan mengikuti tata kota Islam yaitu berada di sebelah barat alun-alun. Pembangunan masjid yang menggunakan atap tumpang serta soko guru dan denah bujur sangkar pada masjid serta terdapatnya ornamentasi dari masa Hindu-Buddha merupakan wujud akulturasi budaya Jawa dan Hindu-Buddha oleh Raden Sepat yang merupakan arsitek dari Majapahit. Namun dengan adanya keikutsertaan arsitek asal Cina, yaitu Cek Ban Su maka terdapat wujud budaya Cina pada bangunan masjid ini, yaitu atap ruang utama yang bertingkat lima yang mirip dengan pagoda yang umumnya merupakan atap kuil di Cina. Pada perkembangan selanjutnya hancurnya atau runtuhnya menara Masjid Agung Banten membutuhkan perbaikan sehingga arsitek Belanda yang merupaka seorang mualaf ikut serta dalam pembuatan menara tersebut sehingga tidak aneh jika menara Masjid Agung Banten ini menjadi wujud kebudayaan Belanda yang dapat dibandingkan dengan mercusuar yang berada di Anyer yang dekat dengan Banten, selain menara, unsur-unsur Belanda dapat dilihat pada bangunan tiamah yang didirikan dengan mengikutsertakan peran Henrik Lucaz Cardeel, arsitek yang sama dalam renovasi atau perbaikan menara masjid.
Maka dari itu dengan melihat berbagai wujud-wujud budaya yang ada pada bangunan Masjid Agung Banten ini, seperti yang telah disampaikan penulis sebelumnya bahwa Masjid Agung Banten merupakan wujud akulturasi budaya yang baik. Tidak hanya wujud akulturasi, Masjid Agung Banten memiliki nilai sejarah yang luar biasa, namun seiring perkembangan zaman nilai ini bergeser menjadi nilai ‘magis’ dimana tempat ini tidak lagi digunakan sebagai tempat untuk mendekatkan diri pada Tuhan melainkan tempat untuk ‘meminta’ petunjuk dan jalan pintas. Keberadaan bangunan ini hingga saat ini baik nilai maupun perannya untuk masyarakat sebagai tempat ibadah maupun objek wisata religi. Oleh karena itu, diperlukan pelestarian yang tepat pada bangunan-bangunan di kompleks masjid ini mengingat jumlah pengunjung yang tidak sedikit.

-Liche Centifolia-


Referensi
Andika, Ulama. 2017. “Makna Bangunan Menara Masjid Agung Banten” dalam Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) Vol. 1(A), ____. hlm. 175-180.
Asfour, O. S. 2016. “Bridging The Gap Between The Past And The Present: A Reconsideration Of Mosque Architectural Elements” dalam Journal Of Islamic Architecture Vol. 4 Nomor 2, Desember 2016. hlm. 77-85.
Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Direktorat Jendral Kebudayaan, Dapartemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Masjid Kuno Indonesia. Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat.
Handinoto dan Hartono. 2007. “Pengaruh Pertukangan Cina pada Bangunan Masjid Kuno di Jawa Abad 15-16” dalam Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 35 Nomor 1, Juli 2007. hlm. 23-40.
Juliadi. 2007. Masjid Agung Banten : Nafas Sejarah dan Budaya. Yogyakarta : Penerit Ombak.
Laksmi, B. W. 2017. “Masjid Agung Banten : Perpaduan Tiga Budaya dalam Satu Arsitektur” dalam Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) Vol. 1 (A),____. hlm 365-368.
Sari, D. S. 2017. “Masjid dan Vihara : Simbol Kerukunan Hubungan Antara Islam dan Buddha (Studi Kasus di Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten)” dalam Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Sharif, H. M., dan Hazumi., H. ____. “The Vernacular Mosques of the Malay World: Cultural Interpretation of Islamic Aspirations”. ____. hlm. 1-31.

2 komentar:

Stasiun Rangkasbitung dari Masa ke Masa

  Stasiun Rangkasbitung Tahun 2022 Sumber: Dokumentasi Pribadi Sebagai salah satu saksi bisu sejarah Banten, keindahan dan keberadaan Stas...

Cek ini juga yuk!