About Us

Foto saya
Tangerang, Banten, Indonesia

Minggu, 22 Maret 2020

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB
Tampak Depan Gapura Bajangratu, sumber: dokumentasi pribadi

Selayang Pandang
Secara administratif, gapura Bajangratu Berada di Dusun Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto yang berada pada ketinggian 41, 49 Mdpl. Situs ini disandingkan dengan sisa – sisa kebesaran peradaban Majapahit yang runtuh 542 tahun silam. Apabila berkunjung ke bekas ibukota Majapahit di Trowulan, Gapura Bajangratu menjadi salah satu objek yang harus dikunjungi. Sama halnya dengan Gapura Wringin Lawang, Gapura Bajangratu diduga pada zaman dahulu berfungsi sebagai gapura masuk ke Keraton Majapahit. Salah satu contoh gapura paduraksa (gapura dengan atap yang menyatu) yang cukup fenomenal adalah Gapura Bajangratu ini. Ukurannya sendiri mencapai 11,00 x 8,50 m dengan denah segi empat dan tinggi pintu sekitar 1,4 meter serta tinggi total gapura sekitar 16, 5 meter. Pintu Gapura Bajangratu yang berukuran cenderung lebih kecil. Pintu yang kecil dan sempit itu membuat tidak semua orang bisa berlalu – lalang keluar masuk dengan bebas sehingga dengan alasan itu Gapura Bajangratu dianggap sebagai pintu masuk ke bangunan yang dianggap sakral berbeda dengan Wringinlawang yang bangunannya bertipe Candi Bentar yang umumnya digunakan untuk pintu masuk bangunan profan. (Sugiyanti et al,1992: 63).
Secara keseluruhan, bangunan Gapura Bajangratu dibagi menjadi tiga bagian yaitu: atap, tubuh, dan kaki dengan material penyusun utama adalah batu bata. Pada kaki sudut kiri depan dihias dengan relief sebanyak empat panil yang kondisinya yang sudah aus sehingga susah untuk dikenali. Namun dari berbagai pernyataan seperti yang dinyatakan oleh ahli dari Belanda yang bernama Bernet Kempers (1996: 299, dalam Sugiyanti et al, 1992: 63-66), relief tersebut menceritakan kisah Sri Tanjung. Pada bagian badan terdapat pintu yang ambangnya terbuat dari batu andesit, dibagian kanan dan kirinya juga terdapat relief yang diduga merupakan cerita Ramayana. Relief ini oleh Sri Suyatmi Satari (1980) disamakan dengan relief Ramayana yang ada di Candi Jago. Dengan itu dapat disimpulkan bahwa Gapura Bajangratu dibangun sekitar abad XIII sampai XIV Masehi. Selain perbandingan relief, perbandingan arsitektur juga dilakukan, yaitu dengan Candi Angka Tahun di Penataran dengan perkiraan angka tahun yaitu sekitar abad XIII. Bagian atap Gapura Bajangratu memiliki tinggi 8,38 meter. Dengan susunan bata berlapis keatas yang semakin keatas semakin mengerucut, setiap lapisan dihiasi ornamen yang setiap dua lapis diselingi deretan menara yang pejal dan saling menyambung. Hiasan kala tampak menghiasi keempat sisinya dengan ciri khas kala bertaring gaya Jawa Timur-an (Sugiyanti et al, 1992: 63 – 66). Berdasarkan adanya relief Sri Tanjung yang ada di Gapura Bajangratu, tulisan ini bertujuan untuk menelisik makna yang terkandung didalamnya dan mencari jawaban mengapa relief Sri Tanjung yang dipilih untuk dipahatkan di Gapura Bajangratu dari sekian banyak opsi cerita yang ada dan berkembang pada masa itu.

Sebuah Pendharmaan Raja Jayanegara
Atas tafsir terhadap Pararaton yang berbunyi “Sira ta dinarmeng kapopongan, bhiseka ring crnggapura pratista ring anantawulan”, maka Gapura Bajangratu sering dikaitkan sebagai sebuah bangunan pendharmaan bagi Raja Jayanegara yang wafat pada tahun 1328 Masehi dengan Wisnu sebagai Dewa Perwujudannya. Dari uraian yang terdapat di kitab Pararaton tersebut dapat disimpulkan bahwa Raja Jaya Negara didharmakan di Crnggapura. Sementara pratista-nya (bangunan sucinya) berada di anantawulan (Trowulan sekarang) (Sugiyanti et al, 1992: 61). Menurut ceita rakyat yang beredar, penamaan Bajangratu juga berkonotasi dengan Raja Jayanegara. Asumsi ini berasal dari definisi Bajangratu secara istilah berasal dari dua kata yaitu bajang dan ratu, bajang dapat diartikan sebagai anak kecil dan ratu berarti penguasa atau raja. Jadi Bajang Ratu dapat diartikan sebagai Raja Kecil. Hal ini sesuai dengan keadaan Jayanegara yang diangkat menjadi Raja Majapahit ketika usianya masih belia (Kepaksian, 2019: 36).

Relief Cerita Sri Tanjung
Sri Tanjung merupakan kisah populer yang trend pada masa Jawa Timur. Cerita Sri Tanjung sering dikaitkan sebagai cerita untuk ruwatan (ritual membersihkan jiwa raga dari kotoran). Isinya mengajarkan ajaran moral yang intinya adalah adanya sebuah sebab akibat dari suatu perbuatan. Sri Tanjung dan Sidhapaksa merupakan sepasang suami istri. Sidhapaksa mengabdi kepada seorang raja yang bernama Sulakrama. Sulakrama sendiri sebenarnya mencintai Sri Tanjung. Untuk memenuhi hasratnya itu, Sulakrama menghalalkan segala cara bagaimana menyingkirkan Sidhapaksa dan merebut Sri Tanjung. Suatu hari Sulakrama mengutus Sidhapaksa untuk berangkat ke kahyangan. Ketika Sidhapaksa pergi mengemban tugas, kesempatan itu digunakan Sulakrama untuk merayu Sri Tanjung. Namun Sri Tanjung tidak menanggapi. Ketika Sidhapaksa pulang, dibuatlah sebuah fitnah bahwa Sri Tanjung berani berselingkuh dibelakangnya. Sidhapaksa yang termakan tipu muslihat akhirnya menikam Sri Tanjung hingga meninggal. Disini keadilan datang, Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh Dewi Durga sehingga Sidhapaksa menyadari bahwa dirinya sudah ditipu oleh Sulakrama. Cerita ini berakhir dengan pembunuhan Sulakrama oleh Sidhapaksa. (Pratiwi, 2016: 51 – 63). Sedangkan cerita Sri Tanjung yang ada pada Gapura Bajang Ratu dipahatkan dalam empat panil. Pada relief yang ada di Gapura Bajangratu ini dibaca dari kiri ke kanan. dua relief pertama kondisinya sudah aus pada panil pertama tampak dua orang laki – laki dan perempuan (?) yang dikelilingi oleh sulur – suluran, mungkin adegan ini menceritakan adegan Sri Tanjung dan Sidhapaksa yang sedang bertengkar akibat fitnah yang dihembuskan oleh Sulakrama. Sidhapaksa yang terbakar emosinya akhirnnya membunuh Sri Tanjung. Panil berikutnya tampak ada seekor hewan mirip ikan yang menyemburkan air, ikan ini menjadi kendaraan Sri Tanjung menuju alam setelah kematian. Pada relief ketiga dan keempat kondisinya sangat rusak parah hampir tidak bisa dikenali. Namun setelah pengamatan secara seksama, relief ketika yang menggambarkan seseorang yang sedang naik diatas ikan, ini menggambarkan Sri Tanjung yang menuju alam baka. Dan panil keempat menggambarkan wanita yang berdiri dan mengikat tangan kirinya, ini menggambarkan Sri Tanjung yang sedang menggugat terhadap sang pencipta agar diberi kesempatan hidup lagi untuk membuktikan kepada suaminya bahwa dirinya tidak main serong.
Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB
Relief panil pertama, menceritakan adegan Sidhapaksa yang sedang meluap emosinya akibat termakan hasutan Suklarama dan akhirnya membunuh istrinya (Sri Tanjung) sebagai wujud kekecewaan karena merasa dikhianati oleh Sri Tanjung. Sumber: dokumentasi pribadi

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB
Panil kedua, tampak seekor ikan yang menyemburkan air, ini menjadi kendaraan Sri Tanjung menuju alam baka setelah mati dibunuh suaminya sendiri. Sumber: dokumentasi pribadi

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB
Panil ketiga, Sri Tanjung menaiki seekor ikan untuk menuju alam baka dan bertemu dengan Dewa. Sumber: dokumentasi pribadi

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB

Panil terakhir, tampak Sri Tanjung mengikat tangan kirinya sebagai wujud guatan kepada Dewa atas ketidak adilan yang menimpa dirinya, dia mohon untuk dihidupkan kembali supaya dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dan dirinya hanya difitnah oleh Suklarama. Sumber: dokumentasi pribadi

Korelasi Relief Sri Tanjung dengan Kematian Jayanegara.
Karya (relief, lukisan, dll) merupakan sebuah media untuk menyampaikan suatu ide atau gagasan dimana tokoh dan tingkah lakunya yang digambarkan dalam suatu karya. Karya tersebut merupakan sebuah manifestasi dari kehidupan nyata (Muslim, 2013). Suatu karya seni merupakan cermin dari alam dan realitas di sekitar kehidupan manusia sehari – hari  yang digambarkan dalam suatu karya. Pembuat karya sastra memandang realitas dari kenyataan berdasarkan sudut pandangnya sendiri bahkan kadang-kadang disertai dengan inovasi, atau digambarkan secara alamiah tanpa melewati proses inovasi dan ada juga yang digambarkan melalui simbol-simbol tertentu yang harus ditelaah dengan seksama untuk memahami maknanya. (Pooke dan Newall,2008: 9). Tidaklah mungkin suatu karya diciptakan tanpa memiliki tujuan. Karya seni seperti relief yang dipahatkan pada suatu bangunan suci tentunya memiliki tujuan tertentu seperti menyampaikan pesan moral, pesan keagamaan dan lain – lain sehingga seni merupakan suatu alegori dimana dalam suatu karya terdapat unsur ekstriksik yang terkandung didalamnya untuk menyampaikan maksud dan tujuan tertentu yang dituangkan melalui karya tersebut. Dengan kata lain, karya tersebut merupakan perumpamaan dari sebuah gagasan. (Lelono, 2016: 102). Sama halnya dengan kisah kematian Jaya Negara yang diabadikan oleh Mpu Prapanca dalam karangannya Negarakertagama yang diagung – agungkan itu. Menurut Negara Kertagama yang ditafsirkan oleh Slamet Muljana, Jayanegara wafat ditangan tabibnya yang bernama Tanca. Tanca membunuh Jayanegara atas aduan dari istrinya yang mengaku digoda oleh Jayanegara. Kebetulan saat itu Raja Jayanegara menderita penyakit bisul dan Tanca sebagai seorang tabib yang dipercaya diminta untuk mengobatinya sehingga kesempatan ini digunakan sebaik – baiknya oleh Tanca untuk membalaskan rasa sakit hatinya dengan membunuh Jayanegara (Muljana,1979). Apabila penuturan Tanca atas hasil penafsiran Muljana itu benar, kiranya cukup tepat untuk mengatakan bahwa kisah kematian Jayanegara yang diceritakan dalam Negarakertagama itu kisahnya diabadikan dalam bentuk sebuah alegori cerita Sri Tanjung yang terpahat pada bangunan yang dipercaya sebagai monumen untuk memperingati kematiannya. Terlepas dari penafsiran umum tentang Cerita Sri Tanjung sebagai kisah untuk ruwatan sebagai lanjutan dari kisah cerita Sudamala. Tulisan ini memberikan alternatif pemikiran baru yaitu kisah Sri Tanjung sebagai alegori untuk menceritakan kisah akhir hidup Sang Jayanegara. Cerita tersebut cocok dengan apa yang digambarkan di Negarakertagama yang ditafsirkan oleh Muljana tentang kematian Jayanegara. Jayanegara sebagai seorang raja diibaratkan seperti Suklarama, sedangkan Tanca sebagai abdi raja digambarkan seperti Sidhapaksa, sementara Sri Tanjung merupakan manifestasi dari istri Tanca yang digoda oleh  Suklarama sehingga Tanca merasa sakit hati kemudian membunuh Jayanegara. Kemudian kisah tersebut dikiaskan pada relief cerita pada bangunan yang digunakan untuk menghormati kematian Jayanegara. Jika memang Gapura Bajangratu adalah bangunan peringatan untuk menghormati wafatnya Jayanegara.

Simpulan
Terlepas dari keabsahan sumber tertulis seperti Negarakertagama yang dilontarkan oleh sebagian orang kadang kala tidak serta merta harus disimpukan secara mentah. Kadang kala sumber tertulis dapat menjadi konfirmasi dari sumber benda yang kadang hanya dapat berbicara sepenggal dan sebaliknya. Pemilihan kisah Sri Tanjung sebagai relief penghias Gapura Bajangratu kiranya memiliki seribu alasan mengapa cerita tersebut dipilih. Mungkin alasan untuk memperingati kematian Jayanegara menjadi salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan ini. Penulis menunggu kritikan dan masukan dari pembaca dan sangat mengapresiasi penelitian yang lebih lanjut supaya dapat memberikan jawaban yang lebih memuaskan.
-Tri Margono-

Daftar Pustaka
Kepaksian IGAGA Widiana et al., 2019. Ornaments on Candi Bajang Ratu in the Trowulan Culture Conservation Site. Dalam International Journal of Art and Art History Vol.7, No. 02, Edisi Desember 2019, Hlmn: 34 – 38.
Lelono, T.M Hari., 2016. Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral - Diktatif Pada Masa Jawa Kuno. Dalam Jurnal Berkala Arkeologi Vol. 36, No.1 Edisi Mei 2016 Hlmn. 99 – 116.
Muljana, Slamet., 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
Muslim, Damai Tegar., 2013. Peran dan Jenis Binatang Pada Cerita Binatang relief Jataka di Candi Borobudur. Diunduh dari Repository.ugm.ac.id pada tanggal 8 Desember 2019.
Pooke, Grant dan Diana Newall., 2008. Art History: The Basic. New York: Routledge.
Pratiwi, Prihani., 2016. Makna Visual Relief  Cerita Sri Tanjung Candi Penataran. Skripsi Sarjana Program Studi Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain. Institut Seni Indonseia Surakata.
Sugiyanti, Dwi et al., 1992. Pemugaran Candi Kidal dan Gapura Bajangratu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stasiun Rangkasbitung dari Masa ke Masa

  Stasiun Rangkasbitung Tahun 2022 Sumber: Dokumentasi Pribadi Sebagai salah satu saksi bisu sejarah Banten, keindahan dan keberadaan Stas...

Cek ini juga yuk!