Tampak Depan Gapura Bajangratu, sumber: dokumentasi pribadi |
Selayang Pandang
Secara
administratif, gapura Bajangratu Berada di Dusun Kraton, Desa Temon, Kecamatan
Trowulan, Mojokerto yang berada pada ketinggian 41, 49 Mdpl. Situs
ini disandingkan dengan sisa – sisa kebesaran peradaban Majapahit yang runtuh
542 tahun silam. Apabila berkunjung ke bekas ibukota Majapahit di Trowulan,
Gapura Bajangratu menjadi salah satu
objek yang harus dikunjungi. Sama halnya dengan Gapura Wringin Lawang, Gapura Bajangratu diduga pada
zaman dahulu berfungsi sebagai gapura masuk ke Keraton Majapahit. Salah satu contoh gapura paduraksa (gapura
dengan atap yang menyatu) yang cukup fenomenal adalah Gapura Bajangratu ini.
Ukurannya sendiri mencapai 11,00 x 8,50 m dengan denah segi empat dan tinggi pintu sekitar 1,4 meter serta tinggi total gapura sekitar 16,
5 meter. Pintu Gapura Bajangratu yang berukuran cenderung lebih kecil. Pintu
yang kecil dan sempit itu membuat tidak semua orang bisa berlalu – lalang
keluar masuk dengan bebas sehingga dengan alasan itu Gapura Bajangratu dianggap
sebagai pintu masuk ke bangunan yang dianggap sakral berbeda dengan
Wringinlawang yang bangunannya bertipe Candi Bentar yang umumnya digunakan
untuk pintu masuk bangunan profan. (Sugiyanti et al,1992: 63).
Secara
keseluruhan, bangunan Gapura Bajangratu dibagi menjadi tiga bagian yaitu: atap,
tubuh, dan kaki dengan material penyusun utama adalah batu bata. Pada kaki
sudut kiri depan dihias dengan relief sebanyak empat panil yang kondisinya yang
sudah aus sehingga susah untuk dikenali. Namun dari berbagai pernyataan seperti
yang dinyatakan oleh ahli dari Belanda yang bernama Bernet Kempers (1996: 299, dalam Sugiyanti et al, 1992: 63-66),
relief tersebut menceritakan kisah Sri Tanjung. Pada bagian badan terdapat
pintu yang ambangnya terbuat dari batu andesit, dibagian kanan dan kirinya juga
terdapat relief yang diduga merupakan cerita Ramayana. Relief ini oleh Sri
Suyatmi Satari (1980) disamakan dengan relief Ramayana yang ada di Candi Jago.
Dengan itu dapat disimpulkan bahwa Gapura Bajangratu dibangun sekitar abad XIII
sampai XIV Masehi. Selain perbandingan relief, perbandingan arsitektur juga
dilakukan, yaitu dengan Candi Angka Tahun di Penataran dengan perkiraan angka
tahun yaitu sekitar abad XIII. Bagian atap Gapura Bajangratu memiliki tinggi
8,38 meter. Dengan susunan bata berlapis keatas yang semakin keatas semakin
mengerucut, setiap lapisan dihiasi ornamen yang setiap dua lapis diselingi
deretan menara yang pejal dan saling menyambung. Hiasan kala tampak menghiasi
keempat sisinya dengan ciri khas kala bertaring gaya Jawa Timur-an (Sugiyanti et al, 1992: 63 – 66).
Berdasarkan adanya relief Sri Tanjung yang ada di Gapura Bajangratu, tulisan
ini bertujuan untuk menelisik makna yang terkandung didalamnya dan mencari
jawaban mengapa relief Sri Tanjung yang dipilih untuk dipahatkan di Gapura
Bajangratu dari sekian banyak opsi cerita yang ada dan berkembang pada masa
itu.
Sebuah Pendharmaan Raja Jayanegara
Atas
tafsir terhadap Pararaton yang berbunyi “Sira
ta dinarmeng kapopongan, bhiseka ring crnggapura pratista ring anantawulan”, maka
Gapura Bajangratu sering dikaitkan sebagai sebuah bangunan pendharmaan bagi
Raja Jayanegara yang wafat pada tahun 1328 Masehi dengan Wisnu sebagai Dewa
Perwujudannya. Dari uraian yang terdapat di kitab Pararaton tersebut dapat
disimpulkan bahwa Raja Jaya Negara didharmakan di Crnggapura. Sementara pratista-nya
(bangunan sucinya) berada di anantawulan
(Trowulan sekarang) (Sugiyanti et al, 1992: 61). Menurut ceita rakyat yang
beredar, penamaan Bajangratu juga berkonotasi dengan Raja Jayanegara. Asumsi ini
berasal dari definisi Bajangratu secara istilah berasal dari dua kata yaitu
bajang dan ratu, bajang dapat diartikan sebagai anak kecil dan ratu berarti
penguasa atau raja. Jadi Bajang Ratu dapat diartikan sebagai Raja Kecil. Hal
ini sesuai dengan keadaan Jayanegara yang diangkat menjadi Raja Majapahit
ketika usianya masih belia (Kepaksian, 2019: 36).
Relief Cerita Sri Tanjung
Sri
Tanjung merupakan kisah populer yang trend pada masa Jawa Timur. Cerita Sri
Tanjung sering dikaitkan sebagai cerita untuk ruwatan (ritual membersihkan jiwa raga dari kotoran). Isinya
mengajarkan ajaran moral yang intinya adalah adanya sebuah sebab akibat dari
suatu perbuatan. Sri Tanjung dan Sidhapaksa merupakan sepasang suami istri.
Sidhapaksa mengabdi kepada seorang raja yang bernama Sulakrama. Sulakrama
sendiri sebenarnya mencintai Sri Tanjung. Untuk memenuhi hasratnya itu,
Sulakrama menghalalkan segala cara bagaimana menyingkirkan Sidhapaksa dan
merebut Sri Tanjung. Suatu hari Sulakrama mengutus Sidhapaksa untuk berangkat
ke kahyangan. Ketika Sidhapaksa pergi mengemban tugas, kesempatan itu digunakan
Sulakrama untuk merayu Sri Tanjung. Namun Sri Tanjung tidak menanggapi. Ketika
Sidhapaksa pulang, dibuatlah sebuah fitnah bahwa Sri Tanjung berani
berselingkuh dibelakangnya. Sidhapaksa yang termakan tipu muslihat akhirnya
menikam Sri Tanjung hingga meninggal. Disini keadilan datang, Sri Tanjung
dihidupkan kembali oleh Dewi Durga sehingga Sidhapaksa menyadari bahwa dirinya
sudah ditipu oleh Sulakrama. Cerita ini berakhir dengan pembunuhan Sulakrama
oleh Sidhapaksa. (Pratiwi, 2016: 51 – 63). Sedangkan cerita Sri Tanjung yang
ada pada Gapura Bajang Ratu dipahatkan dalam empat panil. Pada relief yang ada
di Gapura Bajangratu ini dibaca dari kiri ke kanan. dua relief pertama kondisinya
sudah aus pada panil pertama tampak dua orang laki – laki dan perempuan (?)
yang dikelilingi oleh sulur – suluran, mungkin adegan ini menceritakan adegan
Sri Tanjung dan Sidhapaksa yang sedang bertengkar akibat fitnah yang
dihembuskan oleh Sulakrama. Sidhapaksa yang terbakar emosinya akhirnnya
membunuh Sri Tanjung. Panil berikutnya tampak ada seekor hewan mirip ikan yang
menyemburkan air, ikan ini menjadi kendaraan Sri Tanjung menuju alam setelah
kematian. Pada relief ketiga dan keempat kondisinya sangat rusak parah hampir
tidak bisa dikenali. Namun setelah pengamatan secara seksama, relief ketika
yang menggambarkan seseorang yang sedang naik diatas ikan, ini menggambarkan
Sri Tanjung yang menuju alam baka. Dan panil keempat menggambarkan wanita yang
berdiri dan mengikat tangan kirinya, ini menggambarkan Sri Tanjung yang sedang
menggugat terhadap sang pencipta agar diberi kesempatan hidup lagi untuk
membuktikan kepada suaminya bahwa dirinya tidak main serong.
Panil kedua, tampak seekor ikan yang menyemburkan air, ini menjadi kendaraan Sri Tanjung menuju alam baka setelah mati dibunuh suaminya sendiri. Sumber: dokumentasi pribadi |
Panil ketiga, Sri Tanjung menaiki seekor ikan untuk menuju alam baka dan bertemu dengan Dewa. Sumber: dokumentasi pribadi |
Panil
terakhir, tampak Sri Tanjung mengikat tangan kirinya sebagai wujud guatan
kepada Dewa atas ketidak adilan yang menimpa dirinya, dia mohon untuk
dihidupkan kembali supaya dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dan
dirinya hanya difitnah oleh Suklarama. Sumber: dokumentasi pribadi
Korelasi Relief Sri Tanjung dengan
Kematian Jayanegara.
Karya
(relief, lukisan, dll) merupakan sebuah media untuk menyampaikan suatu ide atau
gagasan dimana tokoh dan tingkah lakunya yang digambarkan dalam suatu karya.
Karya tersebut merupakan sebuah manifestasi dari kehidupan nyata (Muslim,
2013). Suatu karya seni merupakan cermin dari alam dan realitas di sekitar
kehidupan manusia sehari – hari yang
digambarkan dalam suatu karya. Pembuat karya sastra memandang realitas dari
kenyataan berdasarkan sudut pandangnya sendiri bahkan kadang-kadang disertai
dengan inovasi, atau digambarkan secara alamiah tanpa melewati proses inovasi
dan ada juga yang digambarkan melalui simbol-simbol tertentu yang harus
ditelaah dengan seksama untuk memahami maknanya. (Pooke dan Newall,2008: 9).
Tidaklah mungkin suatu karya diciptakan tanpa memiliki tujuan. Karya seni
seperti relief yang dipahatkan pada suatu bangunan suci tentunya memiliki
tujuan tertentu seperti menyampaikan pesan moral, pesan keagamaan dan lain –
lain sehingga seni merupakan suatu alegori dimana dalam suatu karya terdapat
unsur ekstriksik yang terkandung didalamnya untuk menyampaikan maksud dan
tujuan tertentu yang dituangkan melalui karya tersebut. Dengan kata lain, karya
tersebut merupakan perumpamaan dari sebuah gagasan. (Lelono, 2016: 102). Sama
halnya dengan kisah kematian Jaya Negara yang diabadikan oleh Mpu Prapanca
dalam karangannya Negarakertagama yang diagung – agungkan itu. Menurut Negara
Kertagama yang ditafsirkan oleh Slamet Muljana, Jayanegara wafat ditangan
tabibnya yang bernama Tanca. Tanca membunuh Jayanegara atas aduan dari istrinya
yang mengaku digoda oleh Jayanegara. Kebetulan saat itu Raja Jayanegara
menderita penyakit bisul dan Tanca sebagai seorang tabib yang dipercaya diminta
untuk mengobatinya sehingga kesempatan ini digunakan sebaik – baiknya oleh
Tanca untuk membalaskan rasa sakit hatinya dengan membunuh Jayanegara (Muljana,1979). Apabila penuturan Tanca atas hasil penafsiran
Muljana itu benar, kiranya cukup tepat untuk mengatakan bahwa kisah kematian
Jayanegara yang diceritakan dalam Negarakertagama itu kisahnya diabadikan dalam
bentuk sebuah alegori cerita Sri Tanjung yang terpahat pada bangunan yang
dipercaya sebagai monumen untuk memperingati kematiannya. Terlepas dari
penafsiran umum tentang Cerita Sri Tanjung sebagai kisah untuk ruwatan sebagai
lanjutan dari kisah cerita Sudamala. Tulisan ini memberikan alternatif
pemikiran baru yaitu kisah Sri Tanjung sebagai alegori untuk menceritakan kisah
akhir hidup Sang Jayanegara. Cerita tersebut cocok dengan apa yang digambarkan
di Negarakertagama yang ditafsirkan oleh Muljana tentang kematian Jayanegara.
Jayanegara sebagai seorang raja diibaratkan seperti Suklarama, sedangkan Tanca
sebagai abdi raja digambarkan seperti Sidhapaksa, sementara Sri Tanjung
merupakan manifestasi dari istri Tanca yang digoda oleh Suklarama sehingga Tanca merasa sakit hati
kemudian membunuh Jayanegara. Kemudian kisah tersebut dikiaskan pada relief
cerita pada bangunan yang digunakan untuk menghormati kematian Jayanegara. Jika
memang Gapura Bajangratu adalah bangunan peringatan untuk menghormati wafatnya
Jayanegara.
Simpulan
Terlepas
dari keabsahan sumber tertulis seperti Negarakertagama yang dilontarkan oleh
sebagian orang kadang kala
tidak serta merta harus disimpukan secara mentah. Kadang kala sumber tertulis dapat menjadi
konfirmasi dari sumber benda yang kadang hanya dapat berbicara sepenggal dan
sebaliknya. Pemilihan kisah Sri Tanjung sebagai relief penghias Gapura Bajangratu
kiranya memiliki seribu alasan mengapa cerita tersebut dipilih. Mungkin alasan
untuk memperingati kematian Jayanegara menjadi salah satu alternatif untuk menjawab
permasalahan ini. Penulis menunggu kritikan dan masukan dari pembaca dan sangat
mengapresiasi penelitian yang lebih lanjut supaya dapat memberikan jawaban yang
lebih memuaskan.
-Tri Margono-
Daftar
Pustaka
Kepaksian
IGAGA Widiana et al., 2019. Ornaments on
Candi Bajang Ratu in the Trowulan Culture Conservation Site. Dalam International Journal of Art and Art History
Vol.7, No. 02, Edisi Desember 2019, Hlmn: 34 – 38.
Lelono,
T.M Hari., 2016. Relief Candi Sebagai
Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral - Diktatif Pada Masa Jawa Kuno.
Dalam Jurnal Berkala Arkeologi Vol. 36, No.1 Edisi Mei 2016 Hlmn. 99 – 116.
Muljana, Slamet., 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
Muslim,
Damai Tegar., 2013. Peran dan Jenis Binatang Pada
Cerita Binatang relief Jataka di Candi Borobudur. Diunduh
dari Repository.ugm.ac.id pada tanggal 8 Desember 2019.
Pooke,
Grant dan Diana Newall., 2008. Art
History: The Basic. New York: Routledge.
Pratiwi,
Prihani., 2016. Makna Visual Relief Cerita Sri Tanjung Candi Penataran.
Skripsi Sarjana Program Studi Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain.
Institut Seni Indonseia Surakata.
Sugiyanti,
Dwi et al., 1992. Pemugaran Candi Kidal
dan Gapura Bajangratu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar