Dinding dengan Inskripsi di sebelah utara bangunan utama masjid, sumber: dokumentasi pribadi |
Wilayah yang saat ini dikenal sebagai Kota Surakarta atau kota solo sejak tahun 1755 merupakan ibukota Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tentunya kota ini memerlukan suatu gambaran yang representatif. Tata ruang representatif yang dianggap ideal tentu tidak lepas dari nilai luhur kebudayaan Jawa sekaligus mengandung bentuk legitimasi sebagai penerus kekuasaan Kerajaan Mataram pasca Perjanjian Giyanti. Tata ruang yang dipilih dan dianggap ideal diterapkan di wilayah Surakarta adalah tata ruang Catur Gatra tunggal. Tata ruang ini terdiri atas empat struktur bangunan yang menjadi simbol kekuasaan seorang raja atau penguasa. Keempat struktur bangunan ini adalah Keraton sebagai simbol kekuasaan raja dalam bidang politik di selatan alun-alun, Pasar sebagai simbol kekuasaan raja dalam bidang ekonomi di utara alun-alun, Alun-alun sebagai simbol kekuasaan raja dalam bidang sosial di uatra Keraton, dan Masjid sebagai simbol kekuasaan raja dalam bidang religi di barat alun-alun. Penempatan masing-masing bangunan dengan makna dan konsep filosofis tinggi ini masih diperdebatkan dan tidak adanya sumber acuan utama tentang penempatan masing-masing bangunan semakin memperlemah hipotesis-hipotesis yang ada dalam menjelaskan keempat tata ruang ini. Dalam pembahasan kali ini, tentunya konsep dari catur gatra tunggal yang akan didalami adalah Masjid sebagai simbol kekuasaan religi dan Keraton sebagai simbol kekuasaan politik.
Kompleks Bangunan siti inggil Keraton tampak depan, sumber: dokumentasi pribadi |
Masjid Agung Keraton Surakarta tampak dari atas menara masjid, sumber: dokumentasi pribadi |
Masjid Agung Keraton Surakarta dari belakang (sisi barat), sumber: dokumentasi pribadi |
Menara Masjid Agung Surakarta di sisi utara masjid, sumber: dokumentasi pribadi |
Masjid yang menjadi simbol kekuasaan
raja di Surakarta dan seluruh wilayah bawahanya adalah Masjid agung Surakarta.
Masjid ini dibangun oleh Sunan Pakubuwono III pada tahun 1689 tahun jawa atau
tahun 1763 M dan selesai dibangun pada tahun 1768 M (Yuniati, 2017: 499).
Masjid ini mulai dibangun 19 tahun setelah pembangunan Keraton Surakarta yang
dimulai pada tahun 1744 oleh Sunan Pakubuwana II. Kendati demikian terdapat
sumber lain yang menyatakan bahwa bahwa masjid ini berdiri pada tahun 1757 M
atau 1785 M (Yuniati, 2017: 450). Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, Masjid
Agung Surakarta merupakan masjid yang dimiliki oleh Keraton Kasunanan Surakarta
Hadiningrat dan oleh karenanya setiap pengurus atau khotib yang bertugas di
masjid ini merupakan abdi dalem keraton dengan gelarnya masing-masing. Masjid
ini juga rutin mengadakan upacara keagamaan yang merupakan bentuk akulturasi
Islam dengan kebudayaan jawa. Upacara yang dimaksud antara lain, Grebeg Besar,
Grebeg Lebaran, Grebeg Maulud, Grebeg Sura, dan Malam Selikuran (Purwadi, 2014:
75). Masjid ini memiliki kompleks bangunan dengan luas 19.180 m2 dan
memiliki pagar keliling setinggi 3,25 m. Salah satu keunikan lain yang nampak
dari masjid ini adalah Arsitektur masjid. Masjid bergaya vernakular ini
merupakan bentuk penyesuaian agama islam dengan lingkungan kebudayaan jawa yang
diadaptasi sesuai dengan lingkungan dan adat istiadat yang ada.
Prosesi Sekaten di Masjid Agung Surakarta, sumber: dokumentasi pribadi |
Prosesi iringan selepas sekaten kembali memasuki Keraton Surakarta, sumber: dokumentasi pribadi |
Soko guru masjid ini adalah kayu
yang diambil dari hutan Donoloyo dan berbentuk bundar dimana terjadi pergantian
dari saka guru yang berbentuk balok menjadi saka guru yang berbentuk bundar
pada masa Sunan Pakubuwono IV di tahun 1794. Masjid ini tidak mengalami
perubahan yang signifikan hingga masa pemerintahan Sunan Pakubuwono VII dimana
dilakukan penambahan beberapa ornamen dan pemasangan kaca patri yang bergayakan
arsitektur romawi. Pada masa Pakubuwono VII juga dilakukan pembangunan
pawestren dan serambi menggunakan kolom-kolom dorik yang semakin memperkecil
pengaruh arsitektur jawa. Pembangunan serambi dan pawestren ini memakan waktu
lima tahun dari tahun 1850 hingga 1855. Kedua pembangunan ini tentu mengurangi
gambaran representasi masjid sebagai masjid dengan arsitektur vernakular.
Perubahan yang lebih mengarah pada arsitektur asing dan cukup masif terjadi
pada masa Sunan Pakubuwono X. Terdapat empat pembangunan signifikan di kompleks
Masjid Agung Surakarta yang tidak berdasar pada gaya arsitektur Jawa. Pertama,
pembangunan gapura baru pada tahun 1901 M. Gapura yang sebelumnya berupa gapura
candi bentar diubah menjadi gapura dengan gaya arsitektur islam persia. Kedua,
Pembangunan menara adzan dengan tinggi 32 m di tahun yang sama dengan
pembangunan gapura baru. Menara ini terinspirasi dari menara Kutab Minar di
India sementara pintu masuk menara menunjukan gaya arsitektur persia. Biaya
pembangunan menara ini adalah 100.000 gulden. Ketiga, pembangunan kran sebagai pengganti empang dan kolam. Kran yang juga
dibangun pada tahun 1901 ini difungsikan sebagai tempat untuk wudhu
menggantikan empang dengan kolam yang dianggap tradisional dan tidak moderen.
Sekali lagi hal ini menunjukan perkembangan Masjid Agung Surakarta ke arah modern
yang meninggalkan nilai-nilai filosofi dan arsitektur vernakular. Keempat,
pembangunan perumahan abdi dalem.
Salah satu pintu gerbang Keraton Kasunanan Surakarta yang mengarah menuju Museum Keraton, sumber: dokumentasi pribadi |
Kampung batik Laweyan dan Masjid
Agung Surakarta sebagai simbol kekuasaan religi raja tentunya tidak dapat
dipisahkan dari Keraton sebagai simbol utama kekuasaan raja. Keraton harus
diciptakan serepresentatif mungkin untuk menyampaikan simbol kekuasaan raja
yang mutlak lewat tempat tinggal dan hunian untuk bekerja yang mengungguli
setiap bawahanya. Keraton Kasunan Surakarta berdiri pada tahun 1745 dan
dibangun pada masa pergantian kekuasaan antara Sunan Pakubuwono II dengan
Pakubuwono III. Tata ruang dan perencanaan telah diselesaikan sejak masa
Pakubuwono II akan tetapi pembangunan keraton diselesaikan pada masa
Hamengkubuwono III dan perkembangan bangunan kompleks keraton terus dilakukan
hingga mencapai masa puncaknya pada masa kepemimpinan Pakubuwono X. Tata ruang
Keraton Kasunan memiliki perkembangan yang unik dan memiliki ciri khas pada
masa kepemimpinan masing-masing penguasa dari masa Sunan Pakubuwono III hingga
masa sunan Pakubuwono X. Setelah kepemimpinan Sunan Pakubuwono X, Kasunana
Surakarta tidak lagi memiliki tata ruang yang dinamis maupun perekembangan yang
bisa dikatakan signifikan. Pada masa Pakubuwono XII (menjelang dan pasca kemerdekaan).
Keraton Surakarta sempat mengalami kebakaran. Di masa kepemimpinan yang sama,
Keraton Surakarta kehilangan seluruh kekuasaan politiknya akibat bersatunya
Keraton Surakarta dengan Pemerintahan Republik Indonesia (Hardiyanti, 2005:
114). Tentunya keberadaan kompleks Keraton Surakarta pada masa kemerdekaan
indonesia hanya dihargai dan dipandang berdasarkna nilai kesejarahanya dan
tidak lagi mengemban fungsinya sebagai simbol kekuasaan raja yang mutlak tetapi
hanya melambangkan simbol kekuasaan raja yang dahulu pernah ada. Banyaknya
kerusakan yang ada di seluruh lingkungan keraton seakan melegitimasi bagaimana
simbol yang seharusnya menjadi bukti keagungan dan besarnya kekuasaan yang
dimiliki oleh Kasunanan Surakarta telah sepenuhnya runtuh.
Masjid Agung Surakarta dari pintu masuk utama di sisi timur, sumber: dokumentasi pribadi |
Pintu gerbang Masjid Agung Keraton Surakarta yang bergaya Persia, sumber: dokumentasi pribadi |
Museum Keraton Surakarta, sumber: dokumentasi pribadi |
-Nerv
Isanapura-
Daftar Pustaka :
Hardiyanti,
Nurul S., dkk. 2005. "Studi Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton
Kasunan Surakarta" dalam jurnal Dimensi Teknik Arsitektur vol. 33,
No. 1, Desember 2005: 112-124
Purwadi.
2014. "Harmony Masjid Agung Kraton Surakarta Hadiningrat" dalam
jurnal Ibda: Jurnal Kebudayaan Islam. Vol 12, No. 1, Januari-Juni 2014.
hlm 72-85
Yuniati,
Lilis. 2017. "Pengaruh Kepemimpinan Keraton pada Arsitektur Masjid Agung
Surakarta" dalam prosiding Seminar Heritage IPLBI 1. hlm A 449-454.
Desrina,
Ratriningsih. 2017. "Arahan Penataan Kampung Tradisional Wisata Batik
Kauman Surakarta" dalam jurnal INERSIA. Vol. XIII. No. 2, Desember
2017. hlm 116-128.
Reid,
Anthony. 2002. Indonesian Heritage:
Sejarah Modern Awal. Jakarta: Buku Antar Bangsa
Tjahjono, Gunawan dan
John Miksic . 2002. Indonesian Heritage:
Arsitektur. Jakarta: Buku Antar Bangsa
Sharif, Harlina Md dan Hazman Hazumi.
____. The Vernacular Mosques of the Malay
World: Cultural Interpretation of Islamic Aspirations. Artikel Tidak Diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar