About Us

Foto saya
Tangerang, Banten, Indonesia

Rabu, 26 Februari 2020

Keraton, Kauman, dan Masjid Agung di Surakarta: Harmoni Simbol Kekuasaan Religi dan Politik Kasunan Surakarta Hadiningrat

Keraton, Kauman, dan Masjid Agung di Surakarta onbekend
Dinding dengan Inskripsi di sebelah utara bangunan utama masjid,
sumber: dokumentasi pribadi
  
     Wilayah yang saat ini dikenal sebagai Kota Surakarta atau kota solo sejak tahun 1755 merupakan ibukota Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Tentunya kota ini memerlukan suatu gambaran yang representatif. Tata ruang representatif yang dianggap ideal tentu tidak lepas dari nilai luhur kebudayaan Jawa sekaligus mengandung bentuk legitimasi sebagai penerus kekuasaan Kerajaan Mataram pasca Perjanjian Giyanti. Tata ruang yang dipilih dan dianggap ideal diterapkan di wilayah Surakarta adalah tata ruang Catur Gatra tunggal. Tata ruang ini terdiri atas empat struktur bangunan yang menjadi simbol kekuasaan seorang raja atau penguasa. Keempat struktur bangunan ini adalah Keraton sebagai simbol kekuasaan raja dalam bidang politik di selatan alun-alun, Pasar sebagai simbol kekuasaan raja dalam bidang ekonomi di utara alun-alun, Alun-alun sebagai simbol kekuasaan raja dalam bidang sosial di uatra Keraton, dan Masjid sebagai simbol kekuasaan raja dalam bidang religi di barat alun-alun. Penempatan masing-masing bangunan dengan makna dan konsep filosofis tinggi ini masih diperdebatkan dan tidak adanya sumber acuan utama tentang penempatan masing-masing bangunan semakin memperlemah hipotesis-hipotesis yang ada dalam menjelaskan keempat tata ruang ini. Dalam pembahasan kali ini, tentunya konsep dari catur gatra tunggal yang akan didalami adalah Masjid sebagai simbol kekuasaan religi dan Keraton sebagai simbol kekuasaan politik.
           
Keraton, Kauman, dan Masjid Agung di Surakarta onbekend
Kompleks Bangunan siti inggil Keraton tampak depan,
sumber: dokumentasi pribadi
Simbol kekuasaan religi seorang raja maupun penguasa juga diwujudkan lewat keberadaan kampung kauman. Keberadaan kampung kauman yang tidak lain difungsikan sebagai tempat tinggal pengurus masjid seperti kaum khotib dan marbot, juga tentunya tidak dapat dipisahkan dari simbol kekuasaan penguasa terhadap aspek religius. Kampung kauman tidak hanya dijumpai di Solo tetapi juga di hampir setiap kota-kota di Jawa. Akan tetapi dalam perkembanganya, Kampung Kauman tumbuh menjadi pusat perekonomian dan saat ini dikenal secara luas sebagai salah satu sentra penghasil batik di Kota Surakarta. Perkembangan kampung kauman dari sebuah lingkungan hunian yang renggang dan luas dengan pekarangan luas masing-masing khotib menjadi sebuah pemukiman padat penduduk tentu tidak dimulai dalam kurun waktu yang singkat. Kampung kauman pada mulanya dimulai dengan keberadaan Kawedanan Yogiswara atau Kapengulon dimana wilayah sekitaran Masjid Agung Surakarta yang dimiliki oleh Keraton Surakarta atau Bumi Pamijen Keraton hanya dihuni oleh rakyat (kawulo dalem) yang beragama islam. Oleh karena sifat penghunian kawasan ini yang dikhsuskan kepada pemeluk islam maka wilayah ini dikenal dengan Bumi Mutihan atau Bumi Pamethakan. Tentunya keberadaan kampung kauman merupakan suatu bentuk sarana pendukung Masjid Agung Surakarta dengan fungsinya sebagai pusat syiar dan dakwah agama Islam di seluruh wilayah Kasunanan Surakarta. Perubahanya menjadi kampung batik dimulai pada saat masyarakat kaum atau para abdi dalem yang tinggal di wilayah kauman mendapatkan pelatihan khusus dari keraton untuk membuat batik berupa jarik, selendang, dan sebagainya. Seiring berjalanya waktu, kemampuan membatik masyarakat kampung kauman semakin berkembang hingga akhirnya kampung kauman dipercaya untuk menghasilkan batik-batik yang memiliki nilai kesakralan tinggi yang kemudian dikenakan oleh keluarga keraton. Kegiatan membatik pun tumbuh dari keseharian biasa masyarakat kampung kauman menjadi industri yang menghidupi masyarakat kampung kauman. Periode abad ke-19 hingga abad ke-20 menjadi masa kejayaan kauman sebagai Kampung Batik. Bangunan-bangunan industry di Kampung Kauman mencerminkan gaya arsitektur tradisional Jawa dengan ciri khas simetri dan keseimbangan yang identik dengan bangunan yang ada di dalam kompleks Keraton. Bangunan ini juga memiliki orientasi hukum kosmos dengan arah hadap atau sumbu yang sama dengan Keraton Surakarta yaitu Utara-Selatan. Selain kampung batik laweyan, Masjid yang difungsikan sebagai tempat sholat berjamaah masyarakat luas menjadi legitimasi bahwa kekuasaan raja melekat di setiap elemen masyarakat bahkan dalam kehidupan keagamaan setiap warga negara yang ia pimpin.

Keraton, Kauman, dan Masjid Agung di Surakarta onbekend
Masjid Agung Keraton Surakarta tampak dari atas menara masjid,
sumber: dokumentasi pribadi

Keraton, Kauman, dan Masjid Agung di Surakarta onbekend
Masjid Agung Keraton Surakarta dari belakang (sisi barat),
sumber: dokumentasi pribadi

Keraton, Kauman, dan Masjid Agung di Surakarta onbekend
Menara Masjid Agung Surakarta di sisi utara masjid,
sumber: dokumentasi pribadi

            Masjid yang menjadi simbol kekuasaan raja di Surakarta dan seluruh wilayah bawahanya adalah Masjid agung Surakarta. Masjid ini dibangun oleh Sunan Pakubuwono III pada tahun 1689 tahun jawa atau tahun 1763 M dan selesai dibangun pada tahun 1768 M (Yuniati, 2017: 499). Masjid ini mulai dibangun 19 tahun setelah pembangunan Keraton Surakarta yang dimulai pada tahun 1744 oleh Sunan Pakubuwana II. Kendati demikian terdapat sumber lain yang menyatakan bahwa bahwa masjid ini berdiri pada tahun 1757 M atau 1785 M (Yuniati, 2017: 450). Sesuai dengan penjelasan sebelumnya, Masjid Agung Surakarta merupakan masjid yang dimiliki oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan oleh karenanya setiap pengurus atau khotib yang bertugas di masjid ini merupakan abdi dalem keraton dengan gelarnya masing-masing. Masjid ini juga rutin mengadakan upacara keagamaan yang merupakan bentuk akulturasi Islam dengan kebudayaan jawa. Upacara yang dimaksud antara lain, Grebeg Besar, Grebeg Lebaran, Grebeg Maulud, Grebeg Sura, dan Malam Selikuran (Purwadi, 2014: 75). Masjid ini memiliki kompleks bangunan dengan luas 19.180 m2 dan memiliki pagar keliling setinggi 3,25 m. Salah satu keunikan lain yang nampak dari masjid ini adalah Arsitektur masjid. Masjid bergaya vernakular ini merupakan bentuk penyesuaian agama islam dengan lingkungan kebudayaan jawa yang diadaptasi sesuai dengan lingkungan dan adat istiadat yang ada.
Keraton, Kauman, dan Masjid Agung di Surakarta onbekend
Prosesi Sekaten di Masjid Agung Surakarta,
sumber: dokumentasi pribadi
Keraton, Kauman, dan Masjid Agung di Surakarta onbekend
Prosesi iringan selepas sekaten kembali memasuki Keraton Surakarta,
sumber: dokumentasi pribadi

            Soko guru masjid ini adalah kayu yang diambil dari hutan Donoloyo dan berbentuk bundar dimana terjadi pergantian dari saka guru yang berbentuk balok menjadi saka guru yang berbentuk bundar pada masa Sunan Pakubuwono IV di tahun 1794. Masjid ini tidak mengalami perubahan yang signifikan hingga masa pemerintahan Sunan Pakubuwono VII dimana dilakukan penambahan beberapa ornamen dan pemasangan kaca patri yang bergayakan arsitektur romawi. Pada masa Pakubuwono VII juga dilakukan pembangunan pawestren dan serambi menggunakan kolom-kolom dorik yang semakin memperkecil pengaruh arsitektur jawa. Pembangunan serambi dan pawestren ini memakan waktu lima tahun dari tahun 1850 hingga 1855. Kedua pembangunan ini tentu mengurangi gambaran representasi masjid sebagai masjid dengan arsitektur vernakular. Perubahan yang lebih mengarah pada arsitektur asing dan cukup masif terjadi pada masa Sunan Pakubuwono X. Terdapat empat pembangunan signifikan di kompleks Masjid Agung Surakarta yang tidak berdasar pada gaya arsitektur Jawa. Pertama, pembangunan gapura baru pada tahun 1901 M. Gapura yang sebelumnya berupa gapura candi bentar diubah menjadi gapura dengan gaya arsitektur islam persia. Kedua, Pembangunan menara adzan dengan tinggi 32 m di tahun yang sama dengan pembangunan gapura baru. Menara ini terinspirasi dari menara Kutab Minar di India sementara pintu masuk menara menunjukan gaya arsitektur persia. Biaya pembangunan menara ini adalah 100.000 gulden. Ketiga, pembangunan kran sebagai pengganti empang dan kolam. Kran yang juga dibangun pada tahun 1901 ini difungsikan sebagai tempat untuk wudhu menggantikan empang dengan kolam yang dianggap tradisional dan tidak moderen. Sekali lagi hal ini menunjukan perkembangan Masjid Agung Surakarta ke arah modern yang meninggalkan nilai-nilai filosofi dan arsitektur vernakular. Keempat, pembangunan perumahan abdi dalem.
Keraton, Kauman, dan Masjid Agung di Surakarta onbekend
Salah satu pintu gerbang Keraton Kasunanan Surakarta yang mengarah menuju Museum Keraton,
sumber: dokumentasi pribadi

            Kampung batik Laweyan dan Masjid Agung Surakarta sebagai simbol kekuasaan religi raja tentunya tidak dapat dipisahkan dari Keraton sebagai simbol utama kekuasaan raja. Keraton harus diciptakan serepresentatif mungkin untuk menyampaikan simbol kekuasaan raja yang mutlak lewat tempat tinggal dan hunian untuk bekerja yang mengungguli setiap bawahanya. Keraton Kasunan Surakarta berdiri pada tahun 1745 dan dibangun pada masa pergantian kekuasaan antara Sunan Pakubuwono II dengan Pakubuwono III. Tata ruang dan perencanaan telah diselesaikan sejak masa Pakubuwono II akan tetapi pembangunan keraton diselesaikan pada masa Hamengkubuwono III dan perkembangan bangunan kompleks keraton terus dilakukan hingga mencapai masa puncaknya pada masa kepemimpinan Pakubuwono X. Tata ruang Keraton Kasunan memiliki perkembangan yang unik dan memiliki ciri khas pada masa kepemimpinan masing-masing penguasa dari masa Sunan Pakubuwono III hingga masa sunan Pakubuwono X. Setelah kepemimpinan Sunan Pakubuwono X, Kasunana Surakarta tidak lagi memiliki tata ruang yang dinamis maupun perekembangan yang bisa dikatakan signifikan. Pada masa Pakubuwono XII (menjelang dan pasca kemerdekaan). Keraton Surakarta sempat mengalami kebakaran. Di masa kepemimpinan yang sama, Keraton Surakarta kehilangan seluruh kekuasaan politiknya akibat bersatunya Keraton Surakarta dengan Pemerintahan Republik Indonesia (Hardiyanti, 2005: 114). Tentunya keberadaan kompleks Keraton Surakarta pada masa kemerdekaan indonesia hanya dihargai dan dipandang berdasarkna nilai kesejarahanya dan tidak lagi mengemban fungsinya sebagai simbol kekuasaan raja yang mutlak tetapi hanya melambangkan simbol kekuasaan raja yang dahulu pernah ada. Banyaknya kerusakan yang ada di seluruh lingkungan keraton seakan melegitimasi bagaimana simbol yang seharusnya menjadi bukti keagungan dan besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh Kasunanan Surakarta telah sepenuhnya runtuh.

Keraton, Kauman, dan Masjid Agung di Surakarta onbekend
Masjid Agung Surakarta dari pintu masuk utama di sisi timur,
sumber: dokumentasi pribadi

Keraton, Kauman, dan Masjid Agung di Surakarta onbekend
Pintu gerbang Masjid Agung Keraton Surakarta yang bergaya Persia,
sumber: dokumentasi pribadi

Keraton, Kauman, dan Masjid Agung di Surakarta onbekend
Museum Keraton Surakarta,
sumber: dokumentasi pribadi

-Nerv Isanapura-


Daftar Pustaka :
Hardiyanti, Nurul S., dkk. 2005. "Studi Perkembangan dan Pelestarian Kawasan Keraton Kasunan Surakarta" dalam jurnal Dimensi Teknik Arsitektur vol. 33, No. 1, Desember 2005: 112-124
Purwadi. 2014. "Harmony Masjid Agung Kraton Surakarta Hadiningrat" dalam jurnal Ibda: Jurnal Kebudayaan Islam. Vol 12, No. 1, Januari-Juni 2014. hlm 72-85
Yuniati, Lilis. 2017. "Pengaruh Kepemimpinan Keraton pada Arsitektur Masjid Agung Surakarta" dalam prosiding Seminar Heritage IPLBI 1. hlm A 449-454.
Desrina, Ratriningsih. 2017. "Arahan Penataan Kampung Tradisional Wisata Batik Kauman Surakarta" dalam jurnal INERSIA. Vol. XIII. No. 2, Desember 2017. hlm 116-128.
Reid, Anthony. 2002. Indonesian Heritage: Sejarah Modern Awal. Jakarta: Buku Antar Bangsa
Tjahjono, Gunawan dan John Miksic . 2002. Indonesian Heritage: Arsitektur. Jakarta: Buku Antar Bangsa
Sharif, Harlina Md dan Hazman Hazumi. ____. The Vernacular Mosques of the Malay World: Cultural Interpretation of Islamic Aspirations. Artikel Tidak Diterbitkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Stasiun Rangkasbitung dari Masa ke Masa

  Stasiun Rangkasbitung Tahun 2022 Sumber: Dokumentasi Pribadi Sebagai salah satu saksi bisu sejarah Banten, keindahan dan keberadaan Stas...

Cek ini juga yuk!