About Us

Foto saya
Tangerang, Banten, Indonesia

Selasa, 24 Maret 2020

Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini

Stasiun Kalasan yang terletak di Kringinan, Tirtomartani, Kalasan, Sleman Yogyakarta memiliki sejarah perkembangan yang tidak bisa lepas dari sejarah perkembangan perkerataapian di Yogyakarta. Berawal setelah tahun 1870, dimana banyak muncul pabrik-pabrik gula maupun perkebunan milik Belanda yang ada di Yogyakarta. Untuk mengangkut hasil perkebunan dan produksi pabrik ini, pemerintah Hindia Belanda bersama NISM (Nederlands Indische Spoorweg Maatschapij) untuk membangun jalur rel kerta api utama yang menguhubungkan Yogyakarta ke Cilacap dan Batavia, lalu jalur Yogyakarta  ke Semarang, dan jalur Yogyakarta ke Surabaya serta Semarang. Tidak ketinggalan pula, sub jalur kereta api dari Stasiun Kalasan – Tugu – Kedandang (masuk pada jalur utama). Adapun pembangunan  jalur kerta api ini bersamaan dengan pembangunan stasiun-stasiun kecil yang dimulai dari tahun 1864 (Pratikto, 2018: 2-5). Dengan kata lain, pembangunan jalur kereta api sudah dimulai lebih awal dan ketika pabrik-pabrik gula mulai banyak bermuncul maka pembangunan jalur kereta api ini semakin masif.
Yogyakarta menjadi salah satu daerah yang memiliki tanah yang subur sehingga sangat cocok untuk mengembangkan perkebunan, terutama perkebunan tebu. Di dekat Stasiun Kalasan sendiri terdapat Pabrik Gula Tanjungtirto dimana pabrik ini menggunakan Stasiun Kalasan sebagai tempat untuk mengangkut hasil produksinya ke kota-kota pelabuhan yang kemudian akan diekspor. 

Peta Stasiun Kalasan pada tahun 1924. Sumber: Leidenmaps.
Bangunan Stasiun Kalasan memiliki bentuk bangunan awal stasiun yang tergolong sederhana. Pada kurun waktu 1867-1900 perusahaan pengelolaan transportasi di jalur Semarang-Vorstenlanden dikelola oleh NISM. Stasiun-stasiun yang dibangun pada tahun pertama sejak 1867 memiliki bentuk sederhana seperti rumah pendopo dengan overstek. Selain itu, pembangunan struktur, konstruksi, serta desain banyak dipengaruhi oleh kondisi iklim setempat. Stasiun Kalasan berada di jalur kereta api komersil yang bertujuan untuk mengangkut hasil perkebunan dari pada mengangkut manusia, sehingga bangunannya tidak dibangun dengan megah ataupun fasilitas ruang tunggu yang lengkap (de Jong, 1933: 40 dalam Sulistyanti, 2010: 64).
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Fasad Stasiun Kalasan yang didominasi dengan cat putih dan menghadap ke arah utara. Sumber: dokumentasi pribadi.
Stasiun Kalasan sendiri berbatasan dengan pemukiman disebelah utara, gudang barang disebelah timur, rel kereta api disebelah selatan, dan gardu listrik disebelah barat. Lokasinya yang dekat dengan Jalan Jogja-Solo membuat Stasiun ini dapat dengan mudah dijangkau serta dekat dengan permukiman penduduk. Stasiun yang memiliki luas sekitar 345,36 m2 ini memiliki beberapa fasilitas yaitu ruang tunggu, kantor kepala stasiun, kantor navigasi, gudang, dan toilet. Alterasi yang dilakukan pada stasiun ini hanya pada penambahan ruang dan pergantian lantai stasiun yang awalnya tegel kotak-kotak menjadi keramik. Stasiun Kalasan yang memiliki koordinat 7o46’27” S 110o27’54” E (UTM Geomap) ini merupakan stasiun yang berada di Timur Yogyakarta yang menghubungkan antara Stasiun Maguwo Lama dan Stasiun Brambanan.
Peta Stasiun Kalasan pada tahun 2019. Garis kuning menunjukkan bangunan Stasiun Kalasan. Garis merah hanya sebagai penanda lokasi Stasiun Kalasan. Sumber: Google Earth.
Sejak tahun 2008 Stasiun Kalasan sudah tidak dioperasikan lagi. Hal ini dikarenakan pihak PT. KAI sebagai pengelola telah membuka jalur ganda yang menghubungkan antara Yogyakarta dan Kutoarjo dan efiesiensi waktu mengingat jarak Stasiun Maguwo – Stasiun  Kalasan – Stasiun Brambanan tergolong dekat. Selain itu, di tahun yang sama, stasiun ini mengalami kebakaran pada ruangan kepala stasiunnya yang menyebabkan beberapa bagian dari stasiun ini terbakar dan meninggalkan bekas kehitaman di bagian dinding serta plafon-nya.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Ruangan Kepala Stasiun yang mengalami kebakaran. Dan seperti itulah kondisinya. Sumber: dokumentasi pribadi.
Perlu diketahui bahwa Stasiun Kalasan dulunya mempunyai enam jalur kereta api dengan formasi dua jalur lurus, tiga jalur berhenti dan satu jalur gudang dengan ditandai adanya spoor badug yang berada tepat di sebelah PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api). Namun sekarang hanya terdapat dua rel yang saja yang masih digunakan dan rel lainya  terlihat sudah tidak utuh.
Gambar sketsa Stasiun Kalasan dengan enam jalur, sumber: kaskus.com.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Salah satu dari bekas tiga jalur rel Stasiun Kalasan yang kini hanya tinggal sisa dan tertutupi aspal. Sumber: dokumentasi pribadi.

Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Salah satu dari bekas tiga jalur rel Stasiun Kalasan yang kini hanya tinggal sisa. Dimana tampak melewati sebuah selokan. Sumber: dokumentasi pribadi.

Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Salah satu bekas tiga jalur rel Stasiun Kalasan yang kini hanya tinggal sisa. Dimana tampak melewati sebuah selokan. Sumber: dokumentasi pribadi.

Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Salah satu bekas tiga jalur rel Stasiun Kalasan yang kini hanya tinggal sisa. Dimana sebagian sudah tertutup aspal dan sebagian masih tampak melewati sebuah selokan. Sumber: dokumentasi pribadi.
Stasiun Kalasan yang tidak dioperasikan lagi membuatnya terbengkalai dan tidak terawat. Kondisi terkini dari bangunan Stasiun Kalasan sebagai berikut:
  • Dinding
Bagian dinding dari stasiun secara keseluruhan di cat dengan menggunakan warna putih dan telah mengelupas. Pada beberapa bagian dinding sudah hancur dengan lapisan semen yang terkelupas dan juga yang sudah rubuh.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Tampilan kondisi dinding Stasiun Kalasan secara keseluruhan. Foto ini diambil dari sisi selatan Stasiun Kalasan. Sumber: dokumentasi pribadi.
  •  Lantai
Saat ini seluruh bagian lantai masih terbilang bagus. Kerusakan pada bagian lantai hanya terdapat pada ruangan kepala stasiun yang tanahnya ambrol. Selain itu di ruangan yang letaknya di sebelah barat ruangan kepala stasiun sudah rusak dengan beberapa keramik yang terkelupas. Namun lantai pada Stasiun Kalasan sudah tidak asli. Stasiun yang dibangun oleh NISM pada masa kolonial memiliki lantai yang terbuat dari tegel yang berbentuk kotak-kotak. Kini lantai tersebut telah dilapisi dengaan dengan lantai keramik putih yang moderen.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB

Lantai pada ruangan Kantor Kepala Stasiun yang sudah pecah, rusak, dan kotor. Terdapat dua jenis lantai yang menandakan adanya pembaharuan yang pernah dilakukan di Stasiun Kalasan. Sumber: dokumentasi pribadi.
  • Atap
Seluruh komponen atap pada bangunan stasiun kalasan ini masih utuh. Genteng genteng yang digunakan masih tertata dengan rapi, hanya saja sudah ditumbuhi dengan lumut dan beberapa rumput liar.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB

Atap Stasiun Kalasan sebelah utara terlihat masih utuh dan masih terpasang dengan baik. Sumber: dokumentasi pribadi.
  • Plafon
Bagian plafon bangunan ini beberapa sudah mengalami kerusakan ada yang parah, ada yang bolong dan juga menguning karena rembesan air hujan. Hal ini tak lain karena penggunaan bahan plafon yang terbuat dari triplek, usia bangunan, dan faktor iklim.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB

Salah satu sudut dari bangunan Stasiun Kalasan. Terlihat plafon yang sebagian sudah bolong dan beberapa lapuk serta warnanya mulai berubah. Sumber: dokumentasi pribadi.
  • Pintu
Secara keseluruhan pintu – pintu  yang terdapat di bangunan ini masih terpasang dengan baik pada tempatnya. Hanya saja ada beberapa kerusakan seperti cat yang mengelupas, panil kaca pintu yang hancur, dan banyak vandalisme. 
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB

Pintu ruangan petugas Stasiun Kalasan. Kondisinya sangat memprihatinkan dimana kaca-kaca pada pintu pecah dan banyak vandalisme. Sumber: dokumentasi pribadi
  • Jendela
Seluruh komponen jendela masih dalam kondisi bagus dan terpasang dengan baik pada tempatnya, bahan kayunya pun masih dalam kondisi bagus dan belum ada kerusakan. Hanya saja untuk beberapa jendela mengalami kerusakan dengan beberapa kacanya yang pecah bahkan bagian ini juga tak luput dari aksi vandalisme. 
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB

Jendela disisi barat Stasiun Kalasan. Jendela ini menjadi salah satu yang rusak dimana kayunya sudah patah dan kacanya penuh dengan vandalisme. Sumber: dokumentasi pribadi.
  • Tiang
Komponen tiang yang menopang bangunan stasiun ini masih berdiri dengan tegak dan belum ada kerusakan ataupun kelapukan bahan kayunya, hanya bagian cat nya yang saat ini sudah mengelupas. 
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Umpak serta tiang pada bangunan Stasiun Kalasan yang terdapat di sisi selatan. Kondisinya terbilang masih cukup terawat. Sumber: dokumentasi pribadi

Selain kondisi pada bangunan Stasiun yang tidak terawat, kondisi lingkungan stasiun pun tidak jauh berbeda. Dimana banyak sampah dan daun-daun kering yang tidak dibersihkan. Terdapat pula semak-semak belukar yang tumbuh secara liar. Adanya kayu-kayu hasil penebangan yang dibiarkan begitu saja membuat pemandangan disekitar stasiun ini benar-benar terlihat tidak terawat.
Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Lingkungan sekitar Stasiun Kalasan di sisi sebelah Timur. Terlihat banyaknya sampah. Sumber: dokumentasi pribadi

Stasiun Kalasan: Riwayatmu Kini_OB
Lingkungan sekitar Stasiun Kalasan di sisi sebelah Timur. Terlihat kondisi yang sangat tidak terwat. Sumber: dokumentasi pribadi
Dalam 11 tahun sejak penonaktifan operasional saja, Stasiun Kalasan sudah mengalami kerusakan yang tidak bisa dikatakan ringan, maka 50 tahun kedepan tidak ada yang menjamin bahwa Stasiun Kalasan ini akan tetap berdiri atau bahkan mungkin hilang tidak bersisa seperti yang terjadi pada Stasiun Berbah. Maka dari itu, diperlukan upaya perawatan dan pelestarian serta pencegahan kerusakan bangunan untuk tetap menjaga eksistensi dari Stasiun Kalasan ini.

-Jeana Sicari-

Daftar Pustaka
Pratikno, Djoko. 2018. Penelusuran Bentuk Arsitektur Bangunan Stasiun Kereta Api Jaman Kolonial di Yogyakarta. Surakarta: Universitas Tunas Pembangunan. Jurnal Teknik Sipil dan Arsitektur Vol. 22 No. 26. Hlm 1-13.
Sulistyani, Harmilyanti. 2010. Karakteristik Tata Ruang dalam Bangunan Stasiun Kereta Api di Jalur Semarang-Vorstenlanden periode 1854-1930. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Skripsi

Minggu, 22 Maret 2020

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB
Tampak Depan Gapura Bajangratu, sumber: dokumentasi pribadi

Selayang Pandang
Secara administratif, gapura Bajangratu Berada di Dusun Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto yang berada pada ketinggian 41, 49 Mdpl. Situs ini disandingkan dengan sisa – sisa kebesaran peradaban Majapahit yang runtuh 542 tahun silam. Apabila berkunjung ke bekas ibukota Majapahit di Trowulan, Gapura Bajangratu menjadi salah satu objek yang harus dikunjungi. Sama halnya dengan Gapura Wringin Lawang, Gapura Bajangratu diduga pada zaman dahulu berfungsi sebagai gapura masuk ke Keraton Majapahit. Salah satu contoh gapura paduraksa (gapura dengan atap yang menyatu) yang cukup fenomenal adalah Gapura Bajangratu ini. Ukurannya sendiri mencapai 11,00 x 8,50 m dengan denah segi empat dan tinggi pintu sekitar 1,4 meter serta tinggi total gapura sekitar 16, 5 meter. Pintu Gapura Bajangratu yang berukuran cenderung lebih kecil. Pintu yang kecil dan sempit itu membuat tidak semua orang bisa berlalu – lalang keluar masuk dengan bebas sehingga dengan alasan itu Gapura Bajangratu dianggap sebagai pintu masuk ke bangunan yang dianggap sakral berbeda dengan Wringinlawang yang bangunannya bertipe Candi Bentar yang umumnya digunakan untuk pintu masuk bangunan profan. (Sugiyanti et al,1992: 63).
Secara keseluruhan, bangunan Gapura Bajangratu dibagi menjadi tiga bagian yaitu: atap, tubuh, dan kaki dengan material penyusun utama adalah batu bata. Pada kaki sudut kiri depan dihias dengan relief sebanyak empat panil yang kondisinya yang sudah aus sehingga susah untuk dikenali. Namun dari berbagai pernyataan seperti yang dinyatakan oleh ahli dari Belanda yang bernama Bernet Kempers (1996: 299, dalam Sugiyanti et al, 1992: 63-66), relief tersebut menceritakan kisah Sri Tanjung. Pada bagian badan terdapat pintu yang ambangnya terbuat dari batu andesit, dibagian kanan dan kirinya juga terdapat relief yang diduga merupakan cerita Ramayana. Relief ini oleh Sri Suyatmi Satari (1980) disamakan dengan relief Ramayana yang ada di Candi Jago. Dengan itu dapat disimpulkan bahwa Gapura Bajangratu dibangun sekitar abad XIII sampai XIV Masehi. Selain perbandingan relief, perbandingan arsitektur juga dilakukan, yaitu dengan Candi Angka Tahun di Penataran dengan perkiraan angka tahun yaitu sekitar abad XIII. Bagian atap Gapura Bajangratu memiliki tinggi 8,38 meter. Dengan susunan bata berlapis keatas yang semakin keatas semakin mengerucut, setiap lapisan dihiasi ornamen yang setiap dua lapis diselingi deretan menara yang pejal dan saling menyambung. Hiasan kala tampak menghiasi keempat sisinya dengan ciri khas kala bertaring gaya Jawa Timur-an (Sugiyanti et al, 1992: 63 – 66). Berdasarkan adanya relief Sri Tanjung yang ada di Gapura Bajangratu, tulisan ini bertujuan untuk menelisik makna yang terkandung didalamnya dan mencari jawaban mengapa relief Sri Tanjung yang dipilih untuk dipahatkan di Gapura Bajangratu dari sekian banyak opsi cerita yang ada dan berkembang pada masa itu.

Sebuah Pendharmaan Raja Jayanegara
Atas tafsir terhadap Pararaton yang berbunyi “Sira ta dinarmeng kapopongan, bhiseka ring crnggapura pratista ring anantawulan”, maka Gapura Bajangratu sering dikaitkan sebagai sebuah bangunan pendharmaan bagi Raja Jayanegara yang wafat pada tahun 1328 Masehi dengan Wisnu sebagai Dewa Perwujudannya. Dari uraian yang terdapat di kitab Pararaton tersebut dapat disimpulkan bahwa Raja Jaya Negara didharmakan di Crnggapura. Sementara pratista-nya (bangunan sucinya) berada di anantawulan (Trowulan sekarang) (Sugiyanti et al, 1992: 61). Menurut ceita rakyat yang beredar, penamaan Bajangratu juga berkonotasi dengan Raja Jayanegara. Asumsi ini berasal dari definisi Bajangratu secara istilah berasal dari dua kata yaitu bajang dan ratu, bajang dapat diartikan sebagai anak kecil dan ratu berarti penguasa atau raja. Jadi Bajang Ratu dapat diartikan sebagai Raja Kecil. Hal ini sesuai dengan keadaan Jayanegara yang diangkat menjadi Raja Majapahit ketika usianya masih belia (Kepaksian, 2019: 36).

Relief Cerita Sri Tanjung
Sri Tanjung merupakan kisah populer yang trend pada masa Jawa Timur. Cerita Sri Tanjung sering dikaitkan sebagai cerita untuk ruwatan (ritual membersihkan jiwa raga dari kotoran). Isinya mengajarkan ajaran moral yang intinya adalah adanya sebuah sebab akibat dari suatu perbuatan. Sri Tanjung dan Sidhapaksa merupakan sepasang suami istri. Sidhapaksa mengabdi kepada seorang raja yang bernama Sulakrama. Sulakrama sendiri sebenarnya mencintai Sri Tanjung. Untuk memenuhi hasratnya itu, Sulakrama menghalalkan segala cara bagaimana menyingkirkan Sidhapaksa dan merebut Sri Tanjung. Suatu hari Sulakrama mengutus Sidhapaksa untuk berangkat ke kahyangan. Ketika Sidhapaksa pergi mengemban tugas, kesempatan itu digunakan Sulakrama untuk merayu Sri Tanjung. Namun Sri Tanjung tidak menanggapi. Ketika Sidhapaksa pulang, dibuatlah sebuah fitnah bahwa Sri Tanjung berani berselingkuh dibelakangnya. Sidhapaksa yang termakan tipu muslihat akhirnya menikam Sri Tanjung hingga meninggal. Disini keadilan datang, Sri Tanjung dihidupkan kembali oleh Dewi Durga sehingga Sidhapaksa menyadari bahwa dirinya sudah ditipu oleh Sulakrama. Cerita ini berakhir dengan pembunuhan Sulakrama oleh Sidhapaksa. (Pratiwi, 2016: 51 – 63). Sedangkan cerita Sri Tanjung yang ada pada Gapura Bajang Ratu dipahatkan dalam empat panil. Pada relief yang ada di Gapura Bajangratu ini dibaca dari kiri ke kanan. dua relief pertama kondisinya sudah aus pada panil pertama tampak dua orang laki – laki dan perempuan (?) yang dikelilingi oleh sulur – suluran, mungkin adegan ini menceritakan adegan Sri Tanjung dan Sidhapaksa yang sedang bertengkar akibat fitnah yang dihembuskan oleh Sulakrama. Sidhapaksa yang terbakar emosinya akhirnnya membunuh Sri Tanjung. Panil berikutnya tampak ada seekor hewan mirip ikan yang menyemburkan air, ikan ini menjadi kendaraan Sri Tanjung menuju alam setelah kematian. Pada relief ketiga dan keempat kondisinya sangat rusak parah hampir tidak bisa dikenali. Namun setelah pengamatan secara seksama, relief ketika yang menggambarkan seseorang yang sedang naik diatas ikan, ini menggambarkan Sri Tanjung yang menuju alam baka. Dan panil keempat menggambarkan wanita yang berdiri dan mengikat tangan kirinya, ini menggambarkan Sri Tanjung yang sedang menggugat terhadap sang pencipta agar diberi kesempatan hidup lagi untuk membuktikan kepada suaminya bahwa dirinya tidak main serong.
Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB
Relief panil pertama, menceritakan adegan Sidhapaksa yang sedang meluap emosinya akibat termakan hasutan Suklarama dan akhirnya membunuh istrinya (Sri Tanjung) sebagai wujud kekecewaan karena merasa dikhianati oleh Sri Tanjung. Sumber: dokumentasi pribadi

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB
Panil kedua, tampak seekor ikan yang menyemburkan air, ini menjadi kendaraan Sri Tanjung menuju alam baka setelah mati dibunuh suaminya sendiri. Sumber: dokumentasi pribadi

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB
Panil ketiga, Sri Tanjung menaiki seekor ikan untuk menuju alam baka dan bertemu dengan Dewa. Sumber: dokumentasi pribadi

Gapura Bajangratu dan Tabir Kematian Sang Raja Muda_OB

Panil terakhir, tampak Sri Tanjung mengikat tangan kirinya sebagai wujud guatan kepada Dewa atas ketidak adilan yang menimpa dirinya, dia mohon untuk dihidupkan kembali supaya dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dan dirinya hanya difitnah oleh Suklarama. Sumber: dokumentasi pribadi

Korelasi Relief Sri Tanjung dengan Kematian Jayanegara.
Karya (relief, lukisan, dll) merupakan sebuah media untuk menyampaikan suatu ide atau gagasan dimana tokoh dan tingkah lakunya yang digambarkan dalam suatu karya. Karya tersebut merupakan sebuah manifestasi dari kehidupan nyata (Muslim, 2013). Suatu karya seni merupakan cermin dari alam dan realitas di sekitar kehidupan manusia sehari – hari  yang digambarkan dalam suatu karya. Pembuat karya sastra memandang realitas dari kenyataan berdasarkan sudut pandangnya sendiri bahkan kadang-kadang disertai dengan inovasi, atau digambarkan secara alamiah tanpa melewati proses inovasi dan ada juga yang digambarkan melalui simbol-simbol tertentu yang harus ditelaah dengan seksama untuk memahami maknanya. (Pooke dan Newall,2008: 9). Tidaklah mungkin suatu karya diciptakan tanpa memiliki tujuan. Karya seni seperti relief yang dipahatkan pada suatu bangunan suci tentunya memiliki tujuan tertentu seperti menyampaikan pesan moral, pesan keagamaan dan lain – lain sehingga seni merupakan suatu alegori dimana dalam suatu karya terdapat unsur ekstriksik yang terkandung didalamnya untuk menyampaikan maksud dan tujuan tertentu yang dituangkan melalui karya tersebut. Dengan kata lain, karya tersebut merupakan perumpamaan dari sebuah gagasan. (Lelono, 2016: 102). Sama halnya dengan kisah kematian Jaya Negara yang diabadikan oleh Mpu Prapanca dalam karangannya Negarakertagama yang diagung – agungkan itu. Menurut Negara Kertagama yang ditafsirkan oleh Slamet Muljana, Jayanegara wafat ditangan tabibnya yang bernama Tanca. Tanca membunuh Jayanegara atas aduan dari istrinya yang mengaku digoda oleh Jayanegara. Kebetulan saat itu Raja Jayanegara menderita penyakit bisul dan Tanca sebagai seorang tabib yang dipercaya diminta untuk mengobatinya sehingga kesempatan ini digunakan sebaik – baiknya oleh Tanca untuk membalaskan rasa sakit hatinya dengan membunuh Jayanegara (Muljana,1979). Apabila penuturan Tanca atas hasil penafsiran Muljana itu benar, kiranya cukup tepat untuk mengatakan bahwa kisah kematian Jayanegara yang diceritakan dalam Negarakertagama itu kisahnya diabadikan dalam bentuk sebuah alegori cerita Sri Tanjung yang terpahat pada bangunan yang dipercaya sebagai monumen untuk memperingati kematiannya. Terlepas dari penafsiran umum tentang Cerita Sri Tanjung sebagai kisah untuk ruwatan sebagai lanjutan dari kisah cerita Sudamala. Tulisan ini memberikan alternatif pemikiran baru yaitu kisah Sri Tanjung sebagai alegori untuk menceritakan kisah akhir hidup Sang Jayanegara. Cerita tersebut cocok dengan apa yang digambarkan di Negarakertagama yang ditafsirkan oleh Muljana tentang kematian Jayanegara. Jayanegara sebagai seorang raja diibaratkan seperti Suklarama, sedangkan Tanca sebagai abdi raja digambarkan seperti Sidhapaksa, sementara Sri Tanjung merupakan manifestasi dari istri Tanca yang digoda oleh  Suklarama sehingga Tanca merasa sakit hati kemudian membunuh Jayanegara. Kemudian kisah tersebut dikiaskan pada relief cerita pada bangunan yang digunakan untuk menghormati kematian Jayanegara. Jika memang Gapura Bajangratu adalah bangunan peringatan untuk menghormati wafatnya Jayanegara.

Simpulan
Terlepas dari keabsahan sumber tertulis seperti Negarakertagama yang dilontarkan oleh sebagian orang kadang kala tidak serta merta harus disimpukan secara mentah. Kadang kala sumber tertulis dapat menjadi konfirmasi dari sumber benda yang kadang hanya dapat berbicara sepenggal dan sebaliknya. Pemilihan kisah Sri Tanjung sebagai relief penghias Gapura Bajangratu kiranya memiliki seribu alasan mengapa cerita tersebut dipilih. Mungkin alasan untuk memperingati kematian Jayanegara menjadi salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan ini. Penulis menunggu kritikan dan masukan dari pembaca dan sangat mengapresiasi penelitian yang lebih lanjut supaya dapat memberikan jawaban yang lebih memuaskan.
-Tri Margono-

Daftar Pustaka
Kepaksian IGAGA Widiana et al., 2019. Ornaments on Candi Bajang Ratu in the Trowulan Culture Conservation Site. Dalam International Journal of Art and Art History Vol.7, No. 02, Edisi Desember 2019, Hlmn: 34 – 38.
Lelono, T.M Hari., 2016. Relief Candi Sebagai Media Efektif Untuk Menyampaikan Informasi Moral - Diktatif Pada Masa Jawa Kuno. Dalam Jurnal Berkala Arkeologi Vol. 36, No.1 Edisi Mei 2016 Hlmn. 99 – 116.
Muljana, Slamet., 1979. Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
Muslim, Damai Tegar., 2013. Peran dan Jenis Binatang Pada Cerita Binatang relief Jataka di Candi Borobudur. Diunduh dari Repository.ugm.ac.id pada tanggal 8 Desember 2019.
Pooke, Grant dan Diana Newall., 2008. Art History: The Basic. New York: Routledge.
Pratiwi, Prihani., 2016. Makna Visual Relief  Cerita Sri Tanjung Candi Penataran. Skripsi Sarjana Program Studi Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain. Institut Seni Indonseia Surakata.
Sugiyanti, Dwi et al., 1992. Pemugaran Candi Kidal dan Gapura Bajangratu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sabtu, 21 Maret 2020

Nestapa Makam Dinger Kota Batu

Makam Dinger_OB
Makam Dinger dari kejauhan. Sumber: dokumentasi pribadi

Dekat dengan kota Malang, Kota Batu yang terletak pada ketinggian 680-1200 meter di atas permukaan air laut. Lokasinya yang terletak di dataran tinggi, tepatnya di lereng pegunungan membuat wilayah ini cukup sejuk dengan udara yang nyaman. Kota ini juga dikaruniai oleh keindahan alam yang memikat. Potensi ini tercermin dari kekayaan produksi pertanian, buah dan sayuran, serta panorama pegunungan dan perbukitan sehingga pernah mendapat julukan The Real Tourism City of Indonesia oleh Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Julukan lain yang disematkan pada kota yang sudah berdiri selama sembilan belas tahun ini adalah Kota Apel. Selain potensi alamnya, banyak potensi wisata lain yang dapat dikembangkan seperti potensi historis.

Di Kota Batu, terdapat wisata sejarah Makam Dinger yang jarang diketahui orang tetapi memiliki nilai arsitektur yang unik. Makam yang menghadap ke arah utara ini berlokasi di Dusun Wonorejo, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Malang. Untuk menuju ke tempat ini, aksesnya cukup mudah yaitu hanya sekitar 50 meter dari Jl. Raya Junggo. Jalan ke arah makam tersebut masih berupa rerumputan liar beralas kerikil yang lebih mudah diakses dengan berjalan kaki. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan mobil atau motor ke lokasi makam. Sampai di area, mungkin yang terbayang dari ekspektasi makam kuno pada umumnya akan berbeda. Makam Dinger ini memilik suasana kompleks pemakaman yang sangat berbeda dengan pemakaman Belanda pada umumnya. Ketika pemakaman Belanda biasanya ada dalam satu kompleks, Makam Dinger terletak di dalam area perkebunan yang lepas dari unsur colonial seperti rumah ataupun pabrik. Bagian sebelah timur dan selatan makam ini adalah area perkebunan yang berisi tomat, jeruk, dan apel. Kemudian, di bagian sebelah baratnya terdapat sebuah jalan tanah ke arah desa. Pemandangan di sekitar area makam ini asri karena didominasi oleh warna hijau perkebunana dan lanskap bukit-bukit yang menjulang tinggi, memberi nuansa hawa sejuk yang menyegarkan.
Makam Dinger_OB
Pahatan tipis yang memberikan identitas Makam Dinger. Sumber: dokumentasi pribadi
Asal usul nama Makam Dinger ini datang dari ditemukannya sebuah pahatan bertuliskan 'Graf Familie Dinger', sebuah ungkapan dari Bahasa Belanda yang berarti 'Makam Keluarga Dinger'. Pahatan ini ditemukan di atas pintu maka didampingi dengan tulisan 'Anno' dan '1917' di bagian kiri dan kanannya. Dua kata itu diperkirakan mengungkap kapan makam itu dibangun. Dari jurnal berjudal 'Analisis Potensi Situs Peninggalan Makam Dinger Sebagai Wisata Budaya di Kota Baru' yang ditulis oleh Gustria dan Supriono, dapat diketahui bahwa makam ini adalah tempat dimakamkannya seorang tuan tanah bernama Graaf Jan Dinger bersama sang istri Elisabeth Malvine Ernestine van Polanen Petel. Meskipun begitu, sekarang makam ini sudah kosong karena jasad dari pasang suami-istri ini sudah dikembalikan ke Belanda dan sekarang bangunan makam itu tidak lebih dari makam kosong dengan nilai arsitektur tinggi. Masih berkaitan dengan keluarga Dinger, keberadaan makamnya di sana diperkirakan karena rumah keluarga Dinger dulu juga berada di sekitar sana. Tetapi, bukti sejarah itu saat ini sudah tidak bisa ditemukan karena rumah-rumah tinggal yang ada di sekitar makam cenderung baru dan sekarang kebanyakan digunakan sebagai tempat tinggal anggota TNI. 
Makam Dinger_OB
Bangunan Makam Dinger yang berbentuk mausoleum. Sumber: dokumentasi pribadi
Sebelum memasuki Makam Dinger, pengunjung akan disambut oleh sebuah jembatan sepanjang sembilan metar yang menghubungkan pintu masuk dengan bangunan utama makam. Keberadaan jembatan ini mungkin terlihat seperti konstruksi bangunan suci. Meskipun begitu, bangunan jembatan ini adalah sebagai penyambung bangunan makam dengan bagian depan makam karena dulu ada sebuah kolam yang mengelilingi bagian luar makam. Oleh sebab itu, jembatan ini dibuat agar peziarah dapat mengunjungi makam tersebut. Walaupun saat ini kolam itu sudah tidak ada, kering dipenuhi semak belukar karena tidak terawat, jembatan ini masih fungsional. Kontruksi jembatan masih sangat kokoh sampai sekarang disamping kondisinya yang kurang terawat dan cat yang sudah mulai pudar, terdapat juga beberapa bukti nyata kegiatan vandalisme yang sangat memprihatinkan.
Makam Dinger_OB
Jembatan yang terdapat di Makam Dinger. Sumber: dokumentasi pribadi

Makam Dinger_OB
Bagian bawah jembatan yang dulu adalah kolam namun kini sudah mati. Sumber: dokumentasi pribadi

Makam Dinger_OB
Contoh vandalisme yang terdapat pada jembatan. Sumber: dokumentasi pribadi
Lebih jauh tentang situs ini, Makam Dinger memiliki bentuk mausoleum dengan tinggi 6-7 meter. Di bagian depan bangunan terdapat sebuah pintu masuk dari kayu dengan kondisi cukup kuat meskipun terlihat kusam. Di dalam makam, mata akan disambut dengan kondisi yang agak miris. Cat pudar dan mengelupas yang menyebabkan warna kehitaman pada tembok. Selain warnanya yang memudar, terlihat juga banyak lumut yang menempel pada tembok makam. Di dalam makam, suasana yang harusnya condong ke mistis dan religius malah hilang digantikan kesan berantakan dan tidak terurus. Hal ini dikarenakan dialifungsikannya makam ini oleh penduduk sekitar sebagai tempat penyimpanan barang (Gustria & Supriono, 2018:68). Bukan hanya keranda besi kosong, di dalam makam juga terdapat benda-benda seperti: bambu, kayu, dan genteng. Setelah bagian dalam, bagian kedua sisi samping serta belakang makam ini juga memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda. Warna pada bagian tersebut kusam dan pada bagian bawahnya juga tampak beberapa lumut yang hinggap. Di bagian belakang makam kondisinya adalah yang paling tidak terawat. Warna hitam akibat cat yang sudah mengelupas sangat dominan pada bagian ini. Selain itu, tampak pada bagian atasnya ditumbuhi tanaman-tanaman kecil. Kondisi Makam Dinger dapat dikatakan memprihatinkan dan tidak terawat untuk bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah sekitar.
Makam Dinger_OB
Dua keranda besi yang terdapat pada Makam Dinger. Sumber: dokumentasi pribadi

Makam Dinger_OB
Bagian dalam Makam Dinger dimana tampak barang-barang yang tidak ada hubungannya dengan makam. Sumber: dokumentasi pribadi
Begitulah kondisi Makam Dinger saat ini, dibalik kekayaan arsitektur yang sejatinya dimiliki oleh bangunana ini, ulah masa dan tangan nakal orang-orang yang kurang bertanggungjawab menjadi momok tertinggal dan pudarnya kemegahan Makam Dinger. Bangunan cagar budaya ini membutuhkan perhatian khusus terutama dari masyarakat untuk bisa kembali bangkit dari masa sekaratnya sebagai tempat wisata sejarah dan pendidikan di Kota Batu. Potensi wisata budaya yang dimiliki oleh Makam Dinger tidak bisa dibilang kecil. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Makam Dinger secara estetika memiliki kandungan unsur keindahan yang terkait seni rupa, seni hias, seni bangunan dan menjadi sumber inspirasi untuk menghasilkan karya-karya bangunan pada masa sekarang. Disamping itu, bangunan tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai sarana pendidikan masyarakat tentang masa lampau juga berpotensi sebagai sarana rekreasi atau menjadi sumber daya yang dapat memajukan pariwisata daerah. Bangunan peninggalan Belanda ini memiliki konsep imobilitas, yaitu sumber daya yang sangat mahal untuk ditiru dan konsep heterogenitas, yaitu kumpulan sumber daya yang unik (Gustria & Supriono, 2018: 72).
 
Makam Dinger_OB
Tampak Belakang Bangunan Makan Dinger yang perlu diperhatikan. Sumber: dokumentasi pribadi

Makam Dinger_OB
Tampak Samping Bangunan Makam Dinger yang perlu diperhatikan. Sumber: dokumentasi pribadi

Oleh karena itu, perlu dilakukan peremajaan dan perawatan pada Makam Dinger. Bukan hanya akan menambah nilai ekonomi Kota Batu dari sektor pariwisata, kembalinya situs ini ke dalam radar dapat menjadi sumber inspirasi dan pembelajaran di bidang arsitektur. Hal-hal yang bisa dilakukan untuk ‘menyegarkan’ kembali lokasi ini adalah dengan membangun fasilitas memadai, atraksi, dan memperbanyak promosi. Selain dari segi akademik, lokasi Makam Dinger juga cukup aestetik untuk muda-mudi yang sekedar butuh tempat hunting foto baru. Jadi, objek cagar budaya ini sangat mungkin untuk menjadi lokasi wisata yang diminati masyarakat.  


-Lufthansa Zero-

Daftar Pustaka

Anonim. 2003. “Profil Kabupaten/Kota: Kota Batu Jawa Timur”. Diakses dari http://ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/barat/jatim/batu.pdf pada 2 Maret 2020.


Gustria, Dendy Derganata & Supriono. 2018. Analisis Potensi Situs Peninggalan Makam Dinger Sebagai Wisata Budaya di Kota Batu. Jurnal Administrasi Bisnis. Mei, 58(2):66-74.



Kamis, 19 Maret 2020

Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya


Masjid Agung Banten, sumber :  https://daerah.sindonews.com/newsread/1187740/29/keistimewaan-masjid-agung-banten-padukan-tiga-gaya-arsitektur-sarat-filosofi-1489345132
Umum halnya terdapat masjid utama pada suatu daerah, terutama daerah pemerintahan pusat kerajaan Islam. Masjid ini biasanya dinamakan Masjid Agung di Jawa, Masjid Raya di Sumatera, atau dikenal juga sebagai Masjid Negara. Fungsi Masjid Agung adalah sebagai tempat salat berjamaa’ah dan juga kegiatan religius-sosial lainnya, selain itu masjid merupakan simbol dari kerajaan atau Negara Islam.

Banten sebagai daerah penyebar agama Islam yang cukup tua pantas mendapatkan perhatian lebih. Salah satu hal yang menjadi ciri khas Banten adalah Masjid Agung Banten yang dibangun pada masa pemerintahan sultan pertama Banten, Sultan Maulana (1522-1570), yang ada hingga saat ini dengan fungsi yang sama.
Tidak adanya batasan atau aturan mengenai bentuk bangunan masjid menyebabkan munculnya berbagai sarana tambahan sebagai wujud adaptasi yang menjadi paket masjid dan menjadi satu kesatuan, atau disebut ‘masjid vernakular’. Di pulau Jawa sendiri terbentuk suatu model masjid yang menjadi ciri khas. Namun tidak seperti Masjid Agung lainnya di Jawa, Masjid Agung Banten memiliki berbagai unsur asing seperti Tionghoa dan Belanda. Hal ini menurut Juliadi (2007) dikarenakan lokasi Masjid Agung Banten, khususnya Banten, berada dekat pelabuhan yang ramai sehingga banyak dikunjungi oleh pedagang asing baik Tionghoa, Arab, Belanda, dan sebagainya. Oleh karenanya, banyak unsur asing hadir diarsitektur bangunan masjid ini, seperti: Jawa, Hindu-Buddha, Tionghoa, dan Belanda. Unsur-unsur ini dapat ditemui pada seluruh bagian bangunan mulai dari bangunan utama, serambi, tiamah, hingga menara.
Keberadaan unsur-unsur ini jika ditinjau kembali sejarahnya maka akan ditemukan dalam catatan-catatan kuno terutama dari Belanda yang menyebutkan bahwa bangunan-bangunan yang ada pada kompleks masjid ini didirikan pada masa yang berbeda juga dengan arsitek yang berbeda dan berasal dari kewarganegaraan yang berbeda pula. Mereka adalah Raden Sepat yaitu seorang arsitektur dari Majapahit yang juga membangun Masjid Agung Demak, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, dan Masjid Agung Banten sendiri, kemudian arsitek Cek Ban Su (Tjek Ban Tjut) yang merupakan seorang Tionghoa, dan Henrik Lucaz Cardeel (Hendrik Lucaasz Cardeel) yang merupakan seorang mualaf Belanda yang melarikan diri dari Batavia ke Banten pada masa pemerintahan Sultan Haji (Laksmi, 2017 : 365-366)(Sari, 2017 : 5-6).
            Banyak tulisan yang telah membahas Masjid Agung Banten secara keseluruhan baik dari segi budaya, arsitektur, makna dan filosofi dan sebaginya seperti tulisan milik Juliadi (2007), Laksmi (2017), Sari (2017), dan Andika (2017). Oleh karena itu, penulis akan mengulas ulang dan memfokuskan pembahasan hanya pada wujud akulturasi budaya pada elemen bangunan masjid yang menunjukan Masjid Agung Banten sebagai wujud akulturasi budaya.

Masjid Agung Banten
Masjid Agung Banten terletak di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, Indonesia. Masjid ini didirikan dengan peletakan tata kota Islam yang menerapkan atau meletakan masjid di sebelah barat alun-alun dengan Keraton Surosowan berada di Tenggara masjid. 
Masjid Jawa memiliki beberapa elemen utama, antara lain adalah mihrab, mimbar, liwan atau ruang utama untuk salat, sahn atau tempat berwudhu, maqsura, dikka, riwaq atau serambi, atap, dan menara. Sedangkan, ciri lain dari masjid Jawa antara lain; berdenah segi empat, fondasi bangunan persegi, atap tumpang, terdapat mihrab, terdapat serambi, terdapat pintu gerbang, berada di sebelah barat alun-alun, dibangun dengan bahan mudah rusak (kayu), terdapat kolam, serta dibuat dengan konsep rumah panggung. 
Denah Masjid Agung Banten,
 sumber : https://www.rumahdesaiminimalis.com/
Masjid Agung Banten memiliki luas tanah 1.3 ha dan dikelilingi oleh pagar tembok dengan tinggi satu meter, memiliki arah hadap ke timur, dan terdiri atas tiga bangunan utama, yaitu; ruang utama yang mana didalamnya terdapat ruang utama salat, pawestren, mihrab, mimbar; serambi timur yang memiliki atap limasan yang bersusun dua, dan lainnya; kemudian bangunan tiamah yang berada di sisi selatan ruang utama; dan, terakhir adalah menara yang memiliki berbagai fungsi serta arti.
Pada ruang utama, sebagai inti atau ruang sakral di Masjid Agung Banten, berukuran 25 m x 19 m ini memiliki alas dari keramik warna hijau dengan bercak putih, dinding pada bagian timur yang memisahkan ruangan utama dengan serambi terdapat empat pintu dengan lubang angin yang merupakan pintu masuk utama. Pintu ini memiliki dua daun pintu yang terbuat dari kayu dengan ‘motif kertas tempel’. Pada dinding sebelah selatan terdapat dinding pembatas dengan pawestren yang merupakan tempat salat kaum wanita yang juga terdapat pintu penghubung di sisi sudut barat. Pada ruang utama ini terdapat tiang-tiang sebagai penopang atap yang berjumlah 24 tiang secara keseluruhan dengan empat tiang soko guru di tengah ruangan dan merupakan tiang paling tinggi yang berbentuk segi delapan yang merupakan denah atau bentuk Indonesia pra-Islam dari kayu jati dengan tinggi 11 m. Terdapat juga umpak berbentuk labu yang terbuat dari batu andesit tanpa hiasan, 20 tiang lainnya memiliki tinggi yang berbeda-beda menyesuaikan pada atapnya yang bertingkat dan dengan umpak yang terbuat dari batuan andesit. Ruang utama masjid ini terlarang atau tidak diperbolehkan untuk dimasuki oleh orang non-muslim (Juliandi, 2007 : 66).
Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya
Atap dan Penyusunnya pada bagian serambi timur, sumber: dokumentasi pribadi
Kemudian, elemen penting dalam masjid adalah mihrab sebagai penunjuk arah kiblat. Di Masjid Agung Banten, mihrab berada di dinding barat ruang utama masjid yang berbentuk setengah lingkaran dan pada mukanya terdapat dua tiang semu yang berbentuk balok di kanan-kiri masjid. Mihrab ini diwarnai kuning diatas fondasi setinggi 90 cm. Jika mihrab pada masjid umumnya berada di tengah dinding barat ruang utama, Masjid Agung Banten tidak meletakannya di tengah, melainkan sedikit ke selatan. Namun, jika garis dinding ditarik hingga ujung pawestren yang berada di sebelah ruang utama maka ditemukan bahwa mihrab ini berada di tengah dinding tersebut.
Kemudian elemen yang pasti ada pada setiap Masjid Agung adalah mimbar yang digunakan terutama pada salat jum’at untuk menyampaikan ceramah. Jika umumnya pada masjid tipe Jawa mimbar terletak di samping kanan dan menyatu dengan dinding, maka tidak untuk Masjid Agung Banten yang terletak di sebelah kanan mihrab namun tidak menempel dengan dinding, berdenah empat persegi panjang, dengan lima buah anak tangga untuk menaikinya, fondasi mimbar di bawahnya yang memiliki tinggi 90 cm ini terdapat dua lubang langsung, dan pada pipi mimbar yang terdapat hiasan teratai, fauna, dan lainnya juga terdapat motif bingkai cermin, serta pada penampil mimbar yang berbentuk lengkungan terdapat tulisan Arab gundul yang diterjemahkan oleh Sodrie menjadi “Ini mimbar waqaf Nyai Haji Irad Jonjang Serang 23-1323 Hijriah Kanjeng Nabi sama-sama mas haji…….(rusak). Kemanisan Ciruas.” (Juliadi, 2007 : 73). Dari terjemahan ini penulis mencoba menyimpulkan bahwa mimbar Masjid Agung Banten ini merupakan waqaf atau pemberian secara sukarela dari Nyai Haji Irad Jonjang pada 23 Syawal 1323 Hijriah atau pada tahun 1903 M. Dari terjemahan tersebut, muncul kemungkinan terdapat mimbar terdahulu yang lebih tua namun rusak atau oleh sebab lainnya sehingga diganti.
Pawestren atau tempat salat khusus wanita yang berada di sebelah selatan ruang utama salat, memiliki pintu di dinding utara yang menghubungkan dengan ruang utama salat, dan pintu lainnya di dinding selatan yang menghubungkannya dengan kompleks makam Kesultanan Banten di selatan.
Makam yang ada di Masjid Agung Banten terdapat di dalam dan di luar masjid. Kompleks makam yang berada di luar masjid terdiri dari lima cungkup yang tertutup dinding, salah satunya merupakan Makam Sultan Maulana Hasanuddin yang wafat pada 1570. Selain itu, terdapat pula sembilan makam sultan lainnya beserta istri mereka. Cungkup dikelilingi oleh dinding atau tembok yang memiliki pintu yang di kanan-kirinya terdapat gapura semu pelipit dan tangga berpipi dengan jumlah anak tangga lima buah. Pada gapura terdapat motif belah ketupat dengan lingkaran didalamnya yang merupakan ‘motif kertas tempel’. Terdapat jendela dari kayu pada dinding selatan dan utara.
Di sisi timur masjid terdapat serambi yang memiliki enam pasang tiang. Serambi ini memiliki atap yang terpisah dari ruang utama masjid, atapnya merupakan limasan yang bertingkat dua. Di depan serambi timur terdapat kolam yang dipisah menjadi empat bagian dengan penghalang berupa tembok yang disatukan dengan lubang dibawahnya. Selain serambi timur, di sekeliling masjid juga terdapat serambi terbuka lainnya, kecuali serambi selatan yang tertutup karena merupakan kompleks makam sultan atau penguasa yang pernah berkuasa di Banten. 
Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya_OB
Kolam sebagai tempat berwudhu di depan serambi timur masjid, sumber: dokumentasi pribadi
Bangunan tiamah yang berada di selatan masjid merupakan bangunan yang dibangun oleh Sultan Abdul Kahhar setelah kembali dari Desa Tihamah, Arab. Sebagai mana Desa Tihamah tersebut yang banyak penduduknya ramai membahas masalah-masalah keagamaan, maka setelah sultan kembali ia kemudian membangun bangunan tiamah ini untuk tempat pengajaran serta membicarakan permasalahan agama. Bangunan ini dibangun oleh arsitektur Belanda sehingga terdapat unsur Belanda didalamnya. Bangunan ini berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 19,5 m x 6,5 m x 11,5 m dan bertingkat dua dengan jendela lebar di seitap tingkatannya, setiap tingkat pada bangunan ini terbagi atas tiga ruangan dengan luas ruangan barat dan timur mempunyai ukuran 5,62 m x 5,30 m dan ruangan di tengah berukuran 7,25 m x 5,60 m. Atap bangunan tiamah ini merupakan bentuk limasan yang ditunjang dengan dinding-dinding bangunan bukan oleh tiang-tiang penyangga.
Atap sebagai ciri khas masjid tipe Jawa adalah atap tumpang yang selain untuk menyesuaikan iklim di Jawa terutama pada saat hujan besar, atap tumpang juga berfungsi sebagai sirkulasi udara yang baik. Atap pada Masjid Agung Banten ini tedapat dua atap berbeda yaitu pada serambi timur dan ruang utama salat. Atap pada serambi timur merupakan atap limasan yang bertingkat dua. Kemudian atap pada ruang utama masjid bertingkat lima yang semakin mengecil dan pada puncak atap terdapat memolo yang terbuat dari tanah liat.  Dua atap paling atas pada ruang utama masjid memiliki kesamaan dengan pagoda dari Cina. Memolo sebagai puncak atap memiliki fungsi secara teknis sebagai penutup celah saat hujan dan memperkuat puncak atap.
Tampak atap Masjid Agung Banten yang bertumpang, sumber: google.com
Elemen lainnya yang unik dari Masjid Agung Banten adalah adanya istiwa atau jam matahari sebagai penanda atau penunjuk waktu untuk waktu salat lima waktu. Istiwa ini terdapat pada halaman timur dekat gapura, berbentuk segi delapan yang terbuat dari semen berwarna kuning muda dengan lubang lingkaran ditenganya yang diisi oleh tembok berbentuk silang yang masing-masing mengarah kepada empat mata angin dan bayangannya menjadi penanda atau penunjuk waktu salat dan waktu untuk mengumandangkan adzan. 
Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya_OB
Tampak atas Istiwa, sumber: dokumentasi pribadi

Tampak samping Istiwa,
sumber: http://gpswisata Indonesia.wordpress.com/2014/03/03/masjid-agung-banten-serang-banten/amp/
Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya_OB
Menara Masjid yang menyerupai Mercusuar berada di timur Masjid, sumber: dokumentasi pribadi
Unsur baru pada Masjid Agung Banten ini adalah menara. Namun jika berdasarkan pada catatan-catatan Belanda sebenarnya bangunan menara ini bukanlah suatu elemen baru pada bangunan masjid melainkan sudah ada mungkin sejak dibangunnya masjid itu sendiri ini. Akan tetapi, pada tahun 1694 tidak terdapat catatan mengenai keberadaan menara ini (Juliadi, 2007: 109) dan baru muncul pada tahun 1769. Berdasarkan catatan ini, Juliadi (2007) berpendapat bahwa bangunan menara ini pernah rusak atau runtuh dan hilang kemudian baru dibangun kembali pada 1694-1769 oleh arsitek Belanda. Andika (2017: 176) berpendapat bahwa menara yang sebelumnya sudah ada bersamaan dengan masjid dibanguan oleh Cek Ban Cu seorang arsitek Cina, sehingga dapat diimajinasikan bahwa menara lama memiliki kemungkinan memiliki unsur-unsur tionghoa, dan selanjutnya sebagaimana yang telah dijelaskan penulis sebelumnya bahwa menara yang lama ini runtuh dan diganti atau direnovasi oleh arsitek Belanda muslim yaitu Henrik Lucaz Cardeel. Menara yang baru ini berdenah segi delapan dengan tinggi kurang lebih 23-24 m dengan empat pintu masuk menara yang seluruhnya sama dan terdapat kala yang distilirisasi. Menara ini memiliki tangga yang melingkar. Atapnya bertingkat dua dan memiliki bentuk seperti mercusuar karena tinggi, pandangan yang didapatkan dari ketinggian puncak yang terlihat laut disekeliling Banten yang seakan-akan mengawasi kapal yang dating dan pergi, dan juga arsitekturnya yang menyerupai mercusuar peninggalan Belanda di Anyer.

Pembahasan
Masjid Agung Banten didirikan pada masa Sultan Muhammad, anak dari Sunan Gunung Jati sebagai penyebar Islam di wilayah Banten. Diperkirakan masjid ini berdiri pada tahun 1522-1570 setelah pusat pemerintahan pindah dari Banten Girang ke lokasi Keraton Surosowan sekarang. Lokasi Kesultanan Banten yang merupakan kota pelabuhan yang ramai sehingga tidak aneh jika terdapat banyak pendatang asing dari berbagai Negara yang datang ke pelabuhan ini. Keberagaman pendatang dan Banten sebagai pusat penyebaran Islam saat itu menarik banyak pendatang masuk Islam. Beberapa diantara mereka merupakan tukang batu ataupun arsitektur, sehingga sangatlah dimungkinkan banyak unsur asing masuk dalam arsitektur Masjid Agung Banten. Hal lain yang mendukung kemungkinan ini adalah bahwa tidak adanya batasan atau aturan mengenai bangunan masjid, karena masjid pada dasarnya hanyalah tempat untuk sujud atau salat dan dalam Hadist dan Al-Qur’an pun disebutkan bahwa seluruh tanah di muka bumi adalah tempat untuk sujud melaksanakan salat, hanya mihrab lah sebagai penanda arah kiblat yang menjadi penciri atau elemen yang pasti ada pada masjid.
Berdasarkan data yang didapatkan bahwa Masjid Agung Banten ini didirikan atau dibangun oleh tiga arsitektur yang dengan dua diantaranya merupakan warga asing yang menganut agama Islam. Ketiga arsitek ini tidak mengerjakan pembangunan masjid secara bersamaan namun pada waktu yang berbeda-beda. Setelah penjabaran mengenai elemen-elemen pada Masjid Agung Banten dapat diketehui bahwa pertama pada atap ruang utama masjid yang bertingkat lima mirip seperti pagoda, seperti diungkapkan Juliadi (2007 : 79) atap masjid mirip seperti pagoda yang ada di Cina, tetapi jika diamati lagi atap tumpang seperti ini lebih cocok jika disamakan dengan pagoda katmandu di Nepal. Kemudian, selain unsur Jawa pada masjid ini terdapat pula kala serta model tumpal pada masjid dan menara yang merupakan unsur kelanjutan dari masa Hindu-Buddha. Menara yang merupakan bangunan pengganti dari menara yang lama memiliki begitu banyak unsur-unsur Belanda jika dibandingkan dengan mercusuar yang merupakan tinggalan Belanda, terutama yang berada di Anyer dimana menaranya memiliki bentuk yang hampir sama dengan menara Masjid Agung Banten. Oleh karena bentuknya yang seperti ‘mercusuar’, banyak ahli yang memperdebatkan fungsi dari menara ini apakah sebagai pemanggil umat Islam untuk salat? Atau sebagai mercusuar karena sudut pandang menara yang sangat strategis jika dilihat dari atas menara? Meskipun dalam catatan –catatan Belanda banyak disebutkan bahwa fungsi menara ini dahulu adalah sebagai tempat penyimpanan senjata dan kemudian berubah menjadi pemanggil umat Islam untuk salat pada tahun 1769, sehingga lebih tepat dikatakan bahwa menara masjid ini berdiri dan dibangun atas dasar bangunan mercusuar, berkaitan juga dengan arsitekturnya yang merupakan seorang Belanda. Oleh karennya sebutan Masjid Agung Banten sebagai masjid dengan wujud akulturasi budaya bukanlah hal yang buruk, karena dengan keberagaman budaya yang ada di masjid ini menarik mereka pendatang asing yang mualaf merasa nyaman beribadah di Masjid Agung Banten yang merupakan masjid utama atau Masjid Agung simbol Kesultanan Banten ini. Akulturasi ini juga relevan jika dikaitkan dengan Banten sebagia kota pelabuhan saat itu yang mana banyak didatangi oleh pedagang asing.
Masjid Agung Banten ini sudah mengalami delapan kali pemugaran, yaitu semenjak tahun 1923 sampai dengan 1987. Banyaknya pemugaran yang dilakukan oleh berbagai pihak beberapa diantaranya banyak yang menghapus bentuk elemen awal seperti lantai yang awalnya ditutupi jerami kemudian diganti dengan keramik, pembuatan tempat wudhu atau sahn yang sebelumnya menggunakan kolam yang berada di depan serambi timur masjid, dan lainnya. Namun penggantian ini merupakan usaha untuk beradaptasi dengan zaman dan juga untuk kenyamanan beribadah umat Islam.

Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya_OB

Tampak Utara Masjid Agung Banten dari pintu masuknya pada tahun 2019, sumber: dokumentasi pribadi
Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya_OB
Perubahan yang terjadi antara lain penambahan kolam pancuran, 'payung', dan lantai yang dimarmer, sumber: dokumentasi pribadi
Masjid Agung Banten sebagai Wujud Akulturasi Budaya_OB
Perubahan fisik sekaligus makna masjid yang harusnya sakral menjadi berubah, sumber: dokumentasi pribadi

Kesimpulan
Banten sebagai Kesultanan Islam yang juga merupakan kota pelabuhan dan banyak didatangi pedagang asing, tentu tidak heran jika terdapat banyak pencampuran budaya di dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Banten yang juga saat itu berperan besar dalam penyebaran Agama Islam ke daerah di sekitar mereka sangat memegang teguh jati diri mereka sebagai umat Islam. Dan untuk memperkuat bahwa mereka adalah Kesultanan Islam, maka pembangunan masjid merupakan hal yang wajib sebagai sarana umat Islam untuk beribadah. Masjid Agung Banten sebagai Masjid Agung di Kesultanan Banten dibangun berdasarkan masjid vernakular tipe Jawa dengan peletakan mengikuti tata kota Islam yaitu berada di sebelah barat alun-alun. Pembangunan masjid yang menggunakan atap tumpang serta soko guru dan denah bujur sangkar pada masjid serta terdapatnya ornamentasi dari masa Hindu-Buddha merupakan wujud akulturasi budaya Jawa dan Hindu-Buddha oleh Raden Sepat yang merupakan arsitek dari Majapahit. Namun dengan adanya keikutsertaan arsitek asal Cina, yaitu Cek Ban Su maka terdapat wujud budaya Cina pada bangunan masjid ini, yaitu atap ruang utama yang bertingkat lima yang mirip dengan pagoda yang umumnya merupakan atap kuil di Cina. Pada perkembangan selanjutnya hancurnya atau runtuhnya menara Masjid Agung Banten membutuhkan perbaikan sehingga arsitek Belanda yang merupaka seorang mualaf ikut serta dalam pembuatan menara tersebut sehingga tidak aneh jika menara Masjid Agung Banten ini menjadi wujud kebudayaan Belanda yang dapat dibandingkan dengan mercusuar yang berada di Anyer yang dekat dengan Banten, selain menara, unsur-unsur Belanda dapat dilihat pada bangunan tiamah yang didirikan dengan mengikutsertakan peran Henrik Lucaz Cardeel, arsitek yang sama dalam renovasi atau perbaikan menara masjid.
Maka dari itu dengan melihat berbagai wujud-wujud budaya yang ada pada bangunan Masjid Agung Banten ini, seperti yang telah disampaikan penulis sebelumnya bahwa Masjid Agung Banten merupakan wujud akulturasi budaya yang baik. Tidak hanya wujud akulturasi, Masjid Agung Banten memiliki nilai sejarah yang luar biasa, namun seiring perkembangan zaman nilai ini bergeser menjadi nilai ‘magis’ dimana tempat ini tidak lagi digunakan sebagai tempat untuk mendekatkan diri pada Tuhan melainkan tempat untuk ‘meminta’ petunjuk dan jalan pintas. Keberadaan bangunan ini hingga saat ini baik nilai maupun perannya untuk masyarakat sebagai tempat ibadah maupun objek wisata religi. Oleh karena itu, diperlukan pelestarian yang tepat pada bangunan-bangunan di kompleks masjid ini mengingat jumlah pengunjung yang tidak sedikit.

-Liche Centifolia-


Referensi
Andika, Ulama. 2017. “Makna Bangunan Menara Masjid Agung Banten” dalam Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) Vol. 1(A), ____. hlm. 175-180.
Asfour, O. S. 2016. “Bridging The Gap Between The Past And The Present: A Reconsideration Of Mosque Architectural Elements” dalam Journal Of Islamic Architecture Vol. 4 Nomor 2, Desember 2016. hlm. 77-85.
Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Direktorat Jendral Kebudayaan, Dapartemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Masjid Kuno Indonesia. Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat.
Handinoto dan Hartono. 2007. “Pengaruh Pertukangan Cina pada Bangunan Masjid Kuno di Jawa Abad 15-16” dalam Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 35 Nomor 1, Juli 2007. hlm. 23-40.
Juliadi. 2007. Masjid Agung Banten : Nafas Sejarah dan Budaya. Yogyakarta : Penerit Ombak.
Laksmi, B. W. 2017. “Masjid Agung Banten : Perpaduan Tiga Budaya dalam Satu Arsitektur” dalam Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) Vol. 1 (A),____. hlm 365-368.
Sari, D. S. 2017. “Masjid dan Vihara : Simbol Kerukunan Hubungan Antara Islam dan Buddha (Studi Kasus di Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang Provinsi Banten)” dalam Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Sharif, H. M., dan Hazumi., H. ____. “The Vernacular Mosques of the Malay World: Cultural Interpretation of Islamic Aspirations”. ____. hlm. 1-31.

Stasiun Rangkasbitung dari Masa ke Masa

  Stasiun Rangkasbitung Tahun 2022 Sumber: Dokumentasi Pribadi Sebagai salah satu saksi bisu sejarah Banten, keindahan dan keberadaan Stas...

Cek ini juga yuk!