|
Masjid Agung Banten, sumber : https://daerah.sindonews.com/newsread/1187740/29/keistimewaan-masjid-agung-banten-padukan-tiga-gaya-arsitektur-sarat-filosofi-1489345132
|
Umum halnya terdapat masjid utama pada suatu daerah,
terutama daerah pemerintahan pusat kerajaan Islam. Masjid ini biasanya
dinamakan Masjid Agung di Jawa, Masjid Raya di Sumatera, atau dikenal juga
sebagai Masjid Negara. Fungsi Masjid Agung adalah sebagai tempat salat berjamaa’ah dan juga kegiatan religius-sosial
lainnya, selain itu masjid merupakan simbol dari kerajaan atau Negara Islam.
Banten sebagai daerah penyebar agama Islam yang cukup
tua pantas mendapatkan perhatian lebih. Salah satu hal yang menjadi ciri khas Banten
adalah Masjid Agung Banten yang dibangun pada masa pemerintahan sultan pertama Banten,
Sultan Maulana (1522-1570), yang ada hingga saat ini dengan fungsi yang sama.
Tidak adanya batasan atau aturan mengenai bentuk bangunan masjid
menyebabkan munculnya berbagai sarana tambahan sebagai wujud adaptasi yang menjadi
paket masjid dan menjadi satu kesatuan, atau disebut ‘masjid vernakular’. Di
pulau Jawa sendiri terbentuk suatu model masjid yang menjadi ciri khas. Namun
tidak seperti Masjid Agung lainnya di Jawa, Masjid Agung Banten memiliki
berbagai unsur asing seperti Tionghoa dan Belanda. Hal ini menurut Juliadi
(2007) dikarenakan lokasi Masjid Agung Banten, khususnya Banten, berada dekat
pelabuhan yang ramai sehingga banyak dikunjungi oleh pedagang asing baik
Tionghoa, Arab, Belanda, dan sebagainya. Oleh karenanya, banyak unsur asing hadir
diarsitektur bangunan masjid ini, seperti: Jawa, Hindu-Buddha, Tionghoa, dan
Belanda. Unsur-unsur ini dapat ditemui pada seluruh bagian bangunan mulai dari bangunan
utama, serambi, tiamah, hingga menara.
Keberadaan unsur-unsur ini jika ditinjau kembali
sejarahnya maka akan ditemukan dalam catatan-catatan kuno terutama dari Belanda
yang menyebutkan bahwa bangunan-bangunan yang ada pada kompleks masjid ini
didirikan pada masa yang berbeda juga dengan arsitek yang berbeda dan berasal
dari kewarganegaraan yang berbeda pula. Mereka adalah Raden Sepat yaitu seorang
arsitektur dari Majapahit yang juga membangun Masjid Agung Demak, Masjid Agung
Sang Cipta Rasa, dan Masjid Agung Banten sendiri, kemudian arsitek Cek Ban Su
(Tjek Ban Tjut) yang merupakan seorang Tionghoa, dan Henrik Lucaz Cardeel
(Hendrik Lucaasz Cardeel) yang merupakan seorang mualaf Belanda yang melarikan diri dari Batavia ke Banten pada masa
pemerintahan Sultan Haji (Laksmi, 2017 : 365-366)(Sari, 2017 : 5-6).
Banyak tulisan yang
telah membahas Masjid Agung Banten secara keseluruhan baik dari segi budaya,
arsitektur, makna dan filosofi dan sebaginya seperti tulisan milik Juliadi
(2007), Laksmi (2017), Sari (2017), dan Andika (2017). Oleh karena itu, penulis akan mengulas ulang dan memfokuskan pembahasan hanya pada wujud
akulturasi budaya pada elemen bangunan masjid yang menunjukan Masjid Agung Banten
sebagai wujud akulturasi budaya.
Masjid Agung Banten
Masjid
Agung Banten terletak di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi
Banten, Indonesia. Masjid ini didirikan dengan peletakan tata kota Islam yang
menerapkan atau meletakan masjid di sebelah barat alun-alun dengan Keraton Surosowan
berada di Tenggara masjid.
Masjid Jawa memiliki beberapa elemen utama, antara
lain adalah mihrab, mimbar, liwan
atau ruang utama untuk salat, sahn
atau tempat berwudhu, maqsura, dikka, riwaq atau serambi, atap, dan menara. Sedangkan, ciri lain dari masjid
Jawa antara lain; berdenah segi empat, fondasi bangunan persegi, atap tumpang,
terdapat mihrab, terdapat serambi, terdapat pintu gerbang, berada di sebelah
barat alun-alun, dibangun dengan bahan mudah rusak (kayu), terdapat kolam, serta
dibuat dengan konsep rumah panggung.
|
Denah Masjid Agung Banten,
sumber : https://www.rumahdesaiminimalis.com/
|
Masjid
Agung Banten memiliki luas tanah 1.3 ha dan dikelilingi oleh pagar tembok
dengan tinggi satu meter, memiliki arah hadap ke timur, dan terdiri atas tiga
bangunan utama, yaitu; ruang utama yang mana didalamnya terdapat ruang utama salat,
pawestren, mihrab, mimbar; serambi
timur yang memiliki atap limasan yang bersusun dua, dan lainnya; kemudian bangunan
tiamah yang berada di sisi selatan
ruang utama; dan, terakhir adalah menara yang memiliki berbagai fungsi serta
arti.
Pada ruang utama, sebagai inti atau ruang sakral di Masjid
Agung Banten, berukuran 25 m x 19 m ini memiliki alas dari keramik warna hijau
dengan bercak putih, dinding pada bagian timur yang memisahkan ruangan utama
dengan serambi terdapat empat pintu dengan lubang angin yang merupakan pintu
masuk utama. Pintu ini memiliki dua daun pintu yang terbuat dari kayu dengan ‘motif
kertas tempel’. Pada dinding sebelah selatan terdapat dinding pembatas dengan pawestren yang merupakan tempat salat
kaum wanita yang juga terdapat pintu penghubung di sisi sudut barat. Pada ruang
utama ini terdapat tiang-tiang sebagai penopang atap yang berjumlah 24 tiang
secara keseluruhan dengan empat tiang soko
guru di tengah ruangan dan merupakan tiang paling tinggi yang berbentuk
segi delapan yang merupakan denah atau bentuk Indonesia pra-Islam dari kayu
jati dengan tinggi 11 m. Terdapat juga umpak berbentuk labu yang terbuat dari
batu andesit tanpa hiasan, 20 tiang lainnya memiliki tinggi yang berbeda-beda
menyesuaikan pada atapnya yang bertingkat dan dengan umpak yang terbuat dari batuan
andesit. Ruang utama masjid ini terlarang atau tidak diperbolehkan untuk dimasuki
oleh orang non-muslim (Juliandi, 2007 : 66).
|
Atap dan Penyusunnya pada bagian serambi timur, sumber: dokumentasi pribadi |
Kemudian, elemen penting dalam masjid adalah mihrab
sebagai penunjuk arah kiblat. Di Masjid Agung Banten, mihrab berada di dinding
barat ruang utama masjid yang berbentuk setengah lingkaran dan pada mukanya terdapat
dua tiang semu yang berbentuk balok di kanan-kiri masjid. Mihrab ini diwarnai
kuning diatas fondasi setinggi 90 cm. Jika mihrab pada masjid umumnya berada di
tengah dinding barat ruang utama, Masjid Agung Banten tidak meletakannya di tengah,
melainkan sedikit ke selatan. Namun, jika garis dinding ditarik hingga ujung pawestren yang berada di sebelah ruang
utama maka ditemukan bahwa mihrab ini berada di tengah dinding tersebut.
Kemudian elemen yang pasti ada pada setiap Masjid
Agung adalah mimbar yang digunakan terutama pada salat jum’at untuk menyampaikan ceramah. Jika umumnya pada masjid tipe Jawa
mimbar terletak di samping kanan dan menyatu dengan dinding, maka tidak untuk Masjid
Agung Banten yang terletak di sebelah kanan mihrab namun tidak menempel dengan
dinding, berdenah empat persegi panjang, dengan lima buah anak tangga untuk
menaikinya, fondasi mimbar di bawahnya yang memiliki tinggi 90 cm ini terdapat
dua lubang langsung, dan pada pipi mimbar yang terdapat hiasan teratai, fauna,
dan lainnya juga terdapat motif bingkai cermin, serta pada penampil mimbar yang
berbentuk lengkungan terdapat tulisan Arab gundul yang diterjemahkan oleh
Sodrie menjadi “Ini mimbar waqaf Nyai
Haji Irad Jonjang Serang 23-1323 Hijriah Kanjeng Nabi sama-sama mas haji…….(rusak).
Kemanisan Ciruas.” (Juliadi, 2007 :
73). Dari terjemahan ini penulis mencoba menyimpulkan bahwa mimbar Masjid Agung
Banten ini merupakan waqaf atau
pemberian secara sukarela dari Nyai Haji Irad Jonjang pada 23 Syawal 1323 Hijriah atau pada tahun 1903 M. Dari terjemahan tersebut, muncul
kemungkinan terdapat mimbar terdahulu yang lebih tua namun rusak atau oleh
sebab lainnya sehingga diganti.
Pawestren atau tempat salat
khusus wanita yang berada di sebelah selatan ruang utama salat, memiliki pintu
di dinding utara yang menghubungkan dengan ruang utama salat, dan pintu lainnya
di dinding selatan yang menghubungkannya dengan kompleks makam Kesultanan Banten di selatan.
Makam yang
ada di Masjid Agung Banten terdapat di dalam dan di luar masjid. Kompleks makam
yang berada di luar masjid terdiri dari lima cungkup yang tertutup dinding, salah satunya merupakan Makam Sultan
Maulana Hasanuddin yang wafat pada 1570. Selain itu, terdapat pula sembilan
makam sultan lainnya beserta istri mereka. Cungkup dikelilingi oleh dinding
atau tembok yang memiliki pintu yang di kanan-kirinya terdapat gapura semu
pelipit dan tangga berpipi dengan jumlah anak tangga lima buah. Pada gapura
terdapat motif belah ketupat dengan lingkaran didalamnya yang merupakan ‘motif
kertas tempel’. Terdapat jendela dari kayu pada dinding selatan dan utara.
Di sisi timur
masjid terdapat serambi yang memiliki enam pasang tiang. Serambi ini memiliki
atap yang terpisah dari ruang utama masjid, atapnya merupakan limasan yang
bertingkat dua. Di depan serambi timur terdapat kolam yang dipisah menjadi
empat bagian dengan penghalang berupa tembok yang disatukan dengan lubang dibawahnya.
Selain serambi timur, di sekeliling masjid juga terdapat serambi terbuka
lainnya, kecuali serambi selatan yang tertutup karena merupakan kompleks makam
sultan atau penguasa yang pernah berkuasa di Banten.
|
Kolam sebagai tempat berwudhu di depan serambi timur masjid, sumber: dokumentasi pribadi |
Bangunan tiamah
yang berada di selatan masjid merupakan bangunan yang dibangun oleh Sultan
Abdul Kahhar setelah kembali dari Desa Tihamah, Arab. Sebagai mana Desa Tihamah
tersebut yang banyak penduduknya ramai membahas masalah-masalah keagamaan, maka
setelah sultan kembali ia kemudian membangun bangunan tiamah ini untuk tempat pengajaran serta membicarakan permasalahan
agama. Bangunan ini dibangun oleh arsitektur Belanda sehingga terdapat unsur Belanda
didalamnya. Bangunan ini berdenah empat persegi panjang dengan ukuran 19,5 m x
6,5 m x 11,5 m dan bertingkat dua dengan jendela lebar di seitap tingkatannya,
setiap tingkat pada bangunan ini terbagi atas tiga ruangan dengan luas ruangan
barat dan timur mempunyai ukuran 5,62 m x 5,30 m dan ruangan di tengah
berukuran 7,25 m x 5,60 m. Atap bangunan tiamah
ini merupakan bentuk limasan yang ditunjang dengan dinding-dinding bangunan
bukan oleh tiang-tiang penyangga.
Atap sebagai ciri khas masjid tipe Jawa adalah atap
tumpang yang selain untuk menyesuaikan iklim di Jawa terutama pada saat hujan besar,
atap tumpang juga berfungsi sebagai sirkulasi udara yang baik. Atap pada Masjid
Agung Banten ini tedapat dua atap berbeda yaitu pada serambi timur dan ruang
utama salat. Atap pada serambi timur merupakan atap limasan yang bertingkat
dua. Kemudian atap pada ruang utama masjid bertingkat lima yang semakin
mengecil dan pada puncak atap terdapat memolo
yang terbuat dari tanah liat. Dua atap
paling atas pada ruang utama masjid memiliki kesamaan dengan pagoda dari Cina. Memolo sebagai puncak atap memiliki fungsi secara teknis sebagai
penutup celah saat hujan dan memperkuat puncak atap.
|
Tampak atap Masjid Agung Banten yang bertumpang, sumber: google.com |
Elemen
lainnya yang unik dari Masjid Agung Banten adalah adanya istiwa atau jam matahari sebagai penanda atau penunjuk waktu untuk
waktu salat lima waktu. Istiwa ini terdapat
pada halaman timur dekat gapura, berbentuk segi delapan yang terbuat dari semen
berwarna kuning muda dengan lubang lingkaran ditenganya yang diisi oleh tembok
berbentuk silang yang masing-masing mengarah kepada empat mata angin dan bayangannya
menjadi penanda atau penunjuk waktu salat dan waktu untuk mengumandangkan
adzan.
|
Tampak atas Istiwa, sumber: dokumentasi pribadi |
|
Tampak samping Istiwa,
sumber: http://gpswisata Indonesia.wordpress.com/2014/03/03/masjid-agung-banten-serang-banten/amp/ |
|
Menara Masjid yang menyerupai Mercusuar berada di timur Masjid, sumber: dokumentasi pribadi |
Unsur baru pada Masjid Agung Banten ini adalah menara.
Namun jika berdasarkan pada catatan-catatan Belanda sebenarnya bangunan menara
ini bukanlah suatu elemen baru pada bangunan masjid melainkan sudah ada mungkin
sejak dibangunnya masjid itu sendiri ini. Akan tetapi, pada tahun 1694 tidak
terdapat catatan mengenai keberadaan menara ini (Juliadi, 2007: 109) dan baru
muncul pada tahun 1769. Berdasarkan catatan ini, Juliadi (2007) berpendapat
bahwa bangunan menara ini pernah rusak atau runtuh dan hilang kemudian baru
dibangun kembali pada 1694-1769 oleh arsitek Belanda. Andika (2017: 176)
berpendapat bahwa menara yang sebelumnya sudah ada bersamaan dengan masjid
dibanguan oleh Cek Ban Cu seorang arsitek Cina, sehingga dapat diimajinasikan
bahwa menara lama memiliki kemungkinan memiliki unsur-unsur tionghoa, dan selanjutnya
sebagaimana yang telah dijelaskan penulis sebelumnya bahwa menara yang lama ini
runtuh dan diganti atau direnovasi oleh arsitek Belanda muslim yaitu Henrik Lucaz
Cardeel. Menara yang baru ini berdenah segi delapan dengan tinggi kurang lebih
23-24 m dengan empat pintu masuk menara yang seluruhnya sama dan terdapat kala yang distilirisasi. Menara ini
memiliki tangga yang melingkar. Atapnya bertingkat dua dan memiliki bentuk
seperti mercusuar karena tinggi, pandangan yang didapatkan dari ketinggian
puncak yang terlihat laut disekeliling Banten yang seakan-akan mengawasi kapal
yang dating dan pergi, dan juga arsitekturnya yang menyerupai mercusuar
peninggalan Belanda di Anyer.
Pembahasan
Masjid Agung Banten didirikan pada masa Sultan
Muhammad, anak dari Sunan Gunung Jati sebagai penyebar Islam di wilayah Banten.
Diperkirakan masjid ini berdiri pada tahun 1522-1570 setelah pusat pemerintahan
pindah dari Banten Girang ke lokasi Keraton Surosowan sekarang. Lokasi Kesultanan
Banten yang merupakan kota pelabuhan yang ramai sehingga tidak aneh jika
terdapat banyak pendatang asing dari berbagai Negara yang datang ke pelabuhan
ini. Keberagaman pendatang dan Banten sebagai pusat penyebaran Islam saat itu
menarik banyak pendatang masuk Islam. Beberapa diantara mereka merupakan tukang
batu ataupun arsitektur, sehingga sangatlah dimungkinkan banyak unsur asing
masuk dalam arsitektur Masjid Agung Banten. Hal lain yang mendukung kemungkinan
ini adalah bahwa tidak adanya batasan atau aturan mengenai bangunan masjid,
karena masjid pada dasarnya hanyalah tempat untuk sujud atau salat dan dalam
Hadist dan Al-Qur’an pun disebutkan bahwa seluruh tanah di muka bumi adalah
tempat untuk sujud melaksanakan salat, hanya mihrab lah sebagai penanda arah
kiblat yang menjadi penciri atau elemen yang pasti ada pada masjid.
Berdasarkan data yang didapatkan bahwa Masjid Agung Banten
ini didirikan atau dibangun oleh tiga arsitektur yang dengan dua diantaranya
merupakan warga asing yang menganut agama Islam. Ketiga arsitek ini tidak
mengerjakan pembangunan masjid secara bersamaan namun pada waktu yang
berbeda-beda. Setelah penjabaran mengenai elemen-elemen pada Masjid Agung Banten
dapat diketehui bahwa pertama pada atap ruang utama masjid yang bertingkat lima
mirip seperti pagoda, seperti
diungkapkan Juliadi (2007 : 79) atap masjid mirip seperti pagoda yang ada di Cina, tetapi jika diamati lagi atap tumpang
seperti ini lebih cocok jika disamakan dengan pagoda katmandu di Nepal. Kemudian, selain unsur Jawa pada masjid
ini terdapat pula kala serta model tumpal pada masjid dan menara yang
merupakan unsur kelanjutan dari masa Hindu-Buddha. Menara yang merupakan
bangunan pengganti dari menara yang lama memiliki begitu banyak unsur-unsur Belanda
jika dibandingkan dengan mercusuar yang merupakan tinggalan Belanda, terutama
yang berada di Anyer dimana menaranya memiliki bentuk yang hampir sama dengan
menara Masjid Agung Banten. Oleh karena bentuknya yang seperti ‘mercusuar’,
banyak ahli yang memperdebatkan fungsi dari menara ini apakah sebagai pemanggil
umat Islam untuk salat? Atau sebagai mercusuar karena sudut pandang menara yang
sangat strategis jika dilihat dari atas menara? Meskipun dalam catatan –catatan
Belanda banyak disebutkan bahwa fungsi menara ini dahulu adalah sebagai tempat
penyimpanan senjata dan kemudian berubah menjadi pemanggil umat Islam untuk salat
pada tahun 1769, sehingga lebih tepat dikatakan bahwa menara masjid ini berdiri
dan dibangun atas dasar bangunan mercusuar, berkaitan juga dengan arsitekturnya
yang merupakan seorang Belanda. Oleh karennya sebutan Masjid Agung Banten
sebagai masjid dengan wujud akulturasi budaya bukanlah hal yang buruk, karena
dengan keberagaman budaya yang ada di masjid ini menarik mereka pendatang asing
yang mualaf merasa nyaman beribadah
di Masjid Agung Banten yang merupakan masjid utama atau Masjid Agung simbol Kesultanan
Banten ini. Akulturasi ini juga relevan jika dikaitkan dengan Banten sebagia
kota pelabuhan saat itu yang mana banyak didatangi oleh pedagang asing.
Masjid Agung Banten ini sudah mengalami delapan kali
pemugaran, yaitu semenjak tahun 1923 sampai dengan 1987. Banyaknya pemugaran
yang dilakukan oleh berbagai pihak beberapa diantaranya banyak yang menghapus
bentuk elemen awal seperti lantai yang awalnya ditutupi jerami kemudian diganti
dengan keramik, pembuatan tempat wudhu atau sahn
yang sebelumnya menggunakan kolam yang berada di depan serambi timur masjid,
dan lainnya. Namun penggantian ini merupakan usaha untuk beradaptasi dengan
zaman dan juga untuk kenyamanan beribadah umat Islam.
|
Tampak Utara Masjid Agung Banten dari pintu masuknya pada tahun 2019, sumber: dokumentasi pribadi |
|
|
Perubahan yang terjadi antara lain penambahan kolam pancuran, 'payung', dan lantai yang dimarmer, sumber: dokumentasi pribadi |
|
|
Perubahan fisik sekaligus makna masjid yang harusnya sakral menjadi berubah, sumber: dokumentasi pribadi |
|
|
Kesimpulan
Banten sebagai Kesultanan Islam yang juga merupakan
kota pelabuhan dan banyak didatangi pedagang asing, tentu tidak heran jika
terdapat banyak pencampuran budaya di dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Banten
yang juga saat itu berperan besar dalam penyebaran Agama Islam ke daerah di sekitar
mereka sangat memegang teguh jati diri mereka sebagai umat Islam. Dan untuk memperkuat
bahwa mereka adalah Kesultanan Islam, maka pembangunan masjid merupakan hal
yang wajib sebagai sarana umat Islam untuk beribadah. Masjid Agung Banten
sebagai Masjid Agung di Kesultanan Banten dibangun berdasarkan masjid vernakular
tipe Jawa dengan peletakan mengikuti tata kota Islam yaitu berada di sebelah
barat alun-alun. Pembangunan masjid yang menggunakan atap tumpang serta soko guru dan denah bujur sangkar pada
masjid serta terdapatnya ornamentasi dari masa Hindu-Buddha merupakan wujud
akulturasi budaya Jawa dan Hindu-Buddha oleh Raden Sepat yang merupakan arsitek
dari Majapahit. Namun dengan adanya keikutsertaan arsitek asal Cina, yaitu Cek
Ban Su maka terdapat wujud budaya Cina pada bangunan masjid ini, yaitu atap
ruang utama yang bertingkat lima yang mirip dengan pagoda yang umumnya merupakan atap kuil di Cina. Pada perkembangan
selanjutnya hancurnya atau runtuhnya menara Masjid Agung Banten membutuhkan
perbaikan sehingga arsitek Belanda yang merupaka seorang mualaf ikut serta dalam pembuatan menara tersebut sehingga tidak
aneh jika menara Masjid Agung Banten ini menjadi wujud kebudayaan Belanda yang
dapat dibandingkan dengan mercusuar yang berada di Anyer yang dekat dengan Banten,
selain menara, unsur-unsur Belanda dapat dilihat pada bangunan tiamah yang didirikan dengan
mengikutsertakan peran Henrik Lucaz Cardeel, arsitek yang sama dalam renovasi
atau perbaikan menara masjid.
Maka dari itu dengan melihat berbagai wujud-wujud
budaya yang ada pada bangunan Masjid Agung Banten ini, seperti yang telah
disampaikan penulis sebelumnya bahwa Masjid Agung Banten merupakan wujud
akulturasi budaya yang baik. Tidak hanya wujud akulturasi, Masjid Agung Banten
memiliki nilai sejarah yang luar biasa, namun seiring perkembangan zaman nilai
ini bergeser menjadi nilai ‘magis’ dimana tempat ini tidak lagi digunakan
sebagai tempat untuk mendekatkan diri pada Tuhan melainkan tempat untuk ‘meminta’
petunjuk dan jalan pintas. Keberadaan bangunan ini hingga saat ini baik nilai
maupun perannya untuk masyarakat sebagai tempat ibadah maupun objek wisata
religi. Oleh karena itu, diperlukan pelestarian yang tepat pada bangunan-bangunan
di kompleks masjid ini mengingat jumlah pengunjung yang tidak sedikit.
-Liche Centifolia-
Referensi
Andika, Ulama. 2017. “Makna Bangunan Menara Masjid Agung Banten” dalam
Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI) Vol. 1(A), ____.
hlm. 175-180.
Asfour, O. S. 2016. “Bridging The Gap Between The Past And The Present:
A Reconsideration Of Mosque Architectural Elements” dalam Journal Of Islamic
Architecture Vol. 4 Nomor 2, Desember 2016. hlm. 77-85.
Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala,
Direktorat Jendral Kebudayaan, Dapartemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999. Masjid Kuno Indonesia. Proyek Pembinaan
Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Pusat.
Handinoto dan Hartono. 2007. “Pengaruh Pertukangan Cina pada Bangunan
Masjid Kuno di Jawa Abad 15-16” dalam Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 35 Nomor
1, Juli 2007. hlm. 23-40.
Juliadi. 2007. Masjid
Agung Banten : Nafas Sejarah dan Budaya. Yogyakarta : Penerit Ombak.
Laksmi, B. W. 2017. “Masjid Agung Banten : Perpaduan Tiga Budaya dalam
Satu Arsitektur” dalam Seminar Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia
(IPLBI) Vol. 1 (A),____. hlm 365-368.
Sari, D. S. 2017. “Masjid dan Vihara : Simbol Kerukunan Hubungan Antara Islam
dan Buddha (Studi Kasus di Kelurahan Banten Kecamatan Kasemen Kota Serang
Provinsi Banten)” dalam Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Sharif, H. M., dan Hazumi., H.
____. “The Vernacular Mosques of the Malay World: Cultural Interpretation of Islamic
Aspirations”. ____. hlm. 1-31.